Thursday, April 17, 2014

Pasca Pileg, Politik Gaduh

Pasca Pileg 9 April 2014, pemberitaan di media massa nasional maupun lokal dijejali berita politik, selain perolehan suara sementara dari masing-masing partai, kecurangan Pemilu, Caleg yang stres, kandidat Capres/Cawapres, kita pun terseret pada arus analisisa koalisi partai untuk persyaratan menuju Pilpres 9 Juli 2014. Para pengamat politik pun dipaksa untuk mengeluarkan isi otaknya untuk menganalisa koalisi partai untuk mengusung Capres/Cawapres yang nantinya bakal bertarung di laga Pilpres nanti. Sampai saat ini, baru koalisi/kerjasama PDIP-NasDem yang sepakat untuk mengusung Joko Widodo sebagai Capres. Partai-partai lain masih sementara melakukan komunikasi/lobi.

Sebagai orang yang awam dengan dunia politik tentunya saya hanya bisa menunggu hasil dari komunikasi para elit partai politik tersebut yang akan menyajikan pasangan Capres/Cawapres untuk kemudian menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan pemimpin NKRI Periode 2014-2019 nanti.

Pada sisi yang berbeda, mungkin juga ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses komunikasi tersebut menuju pada tahapan kompromi politik koalisi, ada beberapa proses yang perlu kita sebagai rakyat yang hanya mampu memilih hasil koalisi untuk dicermati secara bijak. Proses tersebut yaitu pertunjukan "politik gaduh" yang entah di sengaja (by design) dari invisible hand atau hanya  merupakan Pileg Effect yang harus kita cermati secara bijak agar kita juga tidak terjebak dalam politik gaduh tersebut.

Tafsiran kita terhadap "Politik gaduh" yang dipertontonkan tersebut dikhawatirkan akan menjadi kekisruhan horizontal terutama bagi masing-masing pendukung partai maupun Capres/Cawapres. Beberapa "politik gaduh" yang terjadi pasca Pileg, antara lain:
1. Pecah belah partai
Beberapa partai coba dihancurkan/lemahkan dengan menimbulkan konflik internal partai tersebut. Cara ini paling efektif. PDIP coba digembosi dengan isu Puan yang  memarahi Jokowi sebagaimana diberitakan oleh media The Jakarta Post, baca disini. Klarifikasi dari Puan dan Jokowi baca disini. Upaya menggembosi partai berlambang banteng dengan memanfaatkan kisruh internal seperti salah satu media tv nasional juga mewawancarai ketidak setujuan Guruh Soekarnoputra terhadap pencalonan Jokowi, baca juga disini. Namun sampai saat ini PDIP belum menunjukkan keretakan.
Hal yang berbeda terjadi pada salah satu partai Islam tertua PPP. Ketidaksetujuan beberapa pengurus pada kehadiran SDA saat kampanye akbar partai Gerindra berujung pada keretakan partai dengan pemecatan yang dilakukan Ketua Umum SDA terhadap beberapa pengurus dan DPW, baca disini. Mungkin nanti ada lagi partai yang retak?

2. Eskalasi isu SARA semakin meningkat.
Pertarungan Pileg/Pilpres juga merupakan pertarungan kepentingan para elit politik dan kaum pemodal (kapitalis). Rumor bahwa Jokowi didukung oleh puluhan konglomerat keturunan Tionghoa dan didukung pihak asing merebak. Demikian juga Prabowo yang didukung adiknya Hasyim Djoyohadikusumo yang beragama Kristen bersama koleganya. Bila terjadi pertarungan antara koalisi partai nasionalis dan partai berbasis agama tentu ini sesuatu yang sangat "seru". Isu kedaerahan pun masih ada dengan beberapa upaya memasangkan Capres/Cawapres dari tokoh Indonesia Timur dan Indonesia Barat.

Pertanyaan bagi kita semua, siapa yang tersenyum dan mengambil manfaat dari semua peristiwa politik gaduh diatas? Yang pasti rakyat jelata kembali merana.

Share :

No comments:

Post a Comment