---Berawal dari seringnya mendapat pertanyaan dari teman-teman alumni
Pondok Langitan, perihal sosok Jokowi, bagaimana keislamannya dan
kiprah dia sewaktu menjadi Wali Kota Solo. Pertanyaan tersebut ada
mungkin karena seringnya kampanye hitam yang mereka terima, baik melalui
SMS, transkrip pembicaraan, media cetak maupun di sosial media.
Awalnya saya jawab, “Menurutku, sepengetahuanku….” Tapi jawaban seperti itu, bagiku sendiri juga tidak afdhol, kurang begitu shohih, tsiqoh, aku iki lho sopo (saya bukan siapa-siapa)?
Kemudian saya
berinisiatif untuk mendapatkan info tentang Jokowi dari sumber yang
tsiqoh, yang tahu dan kenal dekat dengan Jokowi, dan yang aku tahu
adalah KH. Abdul Kareem, seorang hafidzul Qur’an dan juga Pengasuh
Pondok Pesantren Az-Zayyady, Laweyan, Solo. Untuk masyarakat Solo dan
sekitarnya pasti tahu siapa beliau. Beliau juga sahabat sekaligus mentor
Jokowi.
“Pak, ke-Islaman Jokowi niku pripun (bagaimana sebenarnya
ke-Islaman Jokowi)?” tanyaku langsung ke masalah. Siang itu, Ahad 22
Juni di ndalem beliau, Tegal Ayu, Laweyan, Solo.
“Islam-imanipun
Jokowi miturut kulo sae, saestu sae (baik, benar-benar baik). Saya
kenal Jokowi jauh sebelum dia menjadi walikota, ketika dia menjadi ketua
Asmindo, Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia, dia punya perusahaan mebel
namanya ‘Rakabu’. Dia aktif mengikuti pengajian-pengajian saya. Dan
dikemudian hari membentuk majlis pengajian Pengusaha Islam Muda yang
namanya Bening Ati, pengasuhnya kulo kiyambak (saya sendiri), Pak Yai
Nahar, (Pengasuh PP Ta’mirul Islam waktu itu) dan juga PakYai Rozaq,
(Pengasuh PP Al Muayyad).
Tapi beberapa tahun majelis pengajian
berlangsung, kemudian goyah, karena beberapa anggotanya sama mencalonkan
diri menjadi Wali Kota, Pak Jokowi sendiri, Pak Purnomo, (sekarang
menjadi Wakil WaliKota Solo) dan Pak Hardono. Lah kulo ‘kebagian’
mendukung Pak Jokowi, dan pada saat itulah saya tahu betul bagaimana Pak
Jokowi, sebab renteng-renteng bareng kemana-mana, puasa Senin-Kemisnya
tidak pernah ketinggalan, tahajudnya juga luar biasa, sama sekali tidak
pernah tinggal Jum’atan, apalagi cuma sholat lima waktu yang memang dah
kewajiban. Keluarga Jokowi juga Islamnya taat, adik-adiknya putri semua
berjilbab itu juga sejak dulu, dan juga diambil mantu oleh orang-orang
yang Islamnya baik semua, Jenengan ngertos kiyambak tho Gus?” jawab
beliau lugas.
“Tapi kulo gih tidak habis pikir, kenapa orang
yang jelas-jelas keislamannya kok diisukan kafir, keturunan nasrani,
cina dan lain-lain, hanya karena perbedaan politik, tur itu yang
mengisukan yo wong islam dewe… Kulo ape meneng wae opo yo trimo, opo yo
pantes, dulur Islam dikafir-kafirke kok meneng ora mbelani, opo yo
pantes…” ucap beliau dengan berusaha keras menahan air mata sehingga
mata beliau memerah. Suara beliau sengau menahan isak.
Melihat
pemandangan seperti itu, hatiku rasanya ngilu, seperti diremas-remas
oleh kekuatan dunia lain, betapa ringannya orang mempolitisasi agama
untuk kekuasaan, aku terdiam lama, untuk meneruskan pertanyaan rasanya
tidak mampu. Terbawa suasana yang tiba-tiba mengiris-ngiris kalbu.
“Ya memang Pak Jokowi bukanlah santri ndeles kados Jenengan Gus,
bacaannya tidak sebagus santri-santri Muayyad, tapi opo terus kekurangan
seperti itu menjadikan dia pantas dicap abangan, gak ngerti
agomo…apalagi kafir?” Dengan menahan isak pertanyaan tersebut terucap.
Memang isu Jokowi sebagai orang abangan atau kejawen itu dimunculkan
sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta dua tahun lalu,
dan setahuku Jokowi waktu itu sama sekali tidak menggubris isu-isu
tersebut. Dan rupanya isu-isu tersebut dimunculkan lagi saat pilpres ini
dan lebih masih dan dasyhat, sehingga pada waktu Jokowi sowan ke Pak
Dul Kareem (begitu aku biasa menyebut KH Abdul Kareem Ahmad), 6 Juni
lalu, JOKOWI madul, “Kulo kiyambak Gus Kareem, bisa menahan diri
difitnah-fitnah seperti itu, tetapi menawi kalau itu ibu saya, ibu saya
difitnah kafir, nasrani,… kulo sing mboten saget nrimo (tidak apa saya
difitnah, tapi kalau ibu saya yang difitnah kafir, nasrani, saya tidak
terima),” kata Jokowi ditirukan Pak Dul Kareem. Lah dalah, aku merinding
mendengar cerita tersebut.
Mungkin juga, Jokowi dianggap orang
abangan karena dia diusung oleh PDIP yang identik dengan abang-abang,
padahal PDIP Solo, sangat agamis, punya masjid sendiri di depan Kantor
PDIP di Brengosan, dan masjidnya makmur, setiap minggu ada kegiatan
semaan Al Qur’an bil ghoib dan pengajian rutin. Tur juga, partai yang
terkuat di Solo adalah PDIP, partai-partai lain yang berbasis Islam
seperti PPP, dan PKB sama sekali gak ada baunya, kecuali PAN dan
PKS-mambu-mambu sitik (partai Islam di Solo tidak terlalu kuat).
Sebetulnya obrolan tersebut sangat panjang dan beragam masalah yang
didawuhkan oleh Pak Dul Kareem, tapi karena terbatasnya halaman, aku
singkat semua obrolan tersebut dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana
kepemimpinan Jokowi selama menjadi wali kota Solo, ketegasannya dan juga
kebijakannya, terutamapada umat Islam?”
“Kebijakkan Pak Jokowi
selama di Solo, sama sekali tidak ada yang merugikan umat Islam,
kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah agama selalu
dikonsultasikan dulu pada ulama Solo, terutamanya pada Kyai Durrohim,
Mustasyar NU waktu itu. Dan kebijakan Pak Jokowi itu bersifat Islam
subtantif Gus, tur yo merakyat tenan, umat Islam di Solo itu kan
mayoritas dan juga kalangan bawah, jadi Pak Jokowi untuk mengangkat
ekonomi rakyat kecil dengan menbangun banyak pasar-pasar tradisional,
minimarket tidak boleh buka 24 jam, tidak mengizinkan mall-mall ada
lagi, jarene Pak Jokowi, kalo umat Islam sejahtera maka masjid dengan
sendirinya akan dipenuhi jama’ah, gitu Gus,” jelas Pak Dul Kareem
padaku.
Memang yang kudengar selama ini ya begitu itu, bahkan
Jokowi berani menentang kebijakan Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah
yang mengizinkan dibangunnya mall di Sari Petojo, sebab memang tanah
Sari Petojo adalah milik propinsi, dan berhubung itu berada di daerah
Solo, pembangunan tersebut tidak diizinkan oleh Jokowi, karena tidak
berpihak pada ekonomi rakyat kecil di sekitarnya.
“Contoh lain,
lokalisasi Shilir yang ada di Semanggi setahun menjadi Wali Kota,
ditutup oleh Pak Jokowi, dan kemudian dibangun sebuah pasar
untuk menghidupkan perekonomian warga sekitar. Dan yang mengisi pasar
tersebut adalah para pedagang loak yang di Banjarsari, di sana itu ada
sebuah monument yang menjadi cagar budaya, kumuh dan kotor karena di
tempati oleh PKL-PKL yang tidak teratur. Dan cara memindahkannya pun,
Masya Alloh, sangat manusiawi, nguwongke uwong tenan, perwakilan PKL di
undang makan di Lodji Gandrung sampai puluhan kali kalau tidak salah
untuk berdiplomasi dengan para pedagang, dan ketika para pedagang
menerima dipindah, mindahnya pun tidak dengan kekerasan, dipawaikan…
dikirab dengan marak… podo ditumpakke jaran, seneng tenan… podo
diuwongke mbek Wali Kotane… (proses pemindahan tidak dengan kekerasan,
semua pihak merasa dihargai),” cerita PakDul Kareem panjang lebar.
Aku membayangkan kemeriahan tersebut dan kegembiraan warganya yang
merasa dimanusiakan oleh pemimpinnya. Selama sebelum Jokowi, Solo kumuh
dan semrawut, dan sekarang terlihat lebih hijau dan rapi, meskipun
tidak semuanya, tapi itu jauh lebih baik dari pada masa-masa sebelum
Wali Kota Jokowi. Dan ketika Shilir di tutup, Habib Syekh yang memang
tinggal di Semanggi mendirikan majelis “Shilir Berdzikir” yang menjadi
cikal bakal Ahbabul Musthofa saat ini.
Solo saat ini jadi lebih
hijau dhohiron wa bathinan, peringatan hari besar Islam juga lebih
semarak, ada Parade Hadrah setiap Rajab, Festival Sholawat, kegiatan
dzikir tahlil dan barzanji semakin marak, ada setiap saat, tidak hanya
di masjid-masjid tapi juga di hotel-hotel mewah. Itu semua sebab
kebijakan-kebijakan Jokowi dalam membangun Solo sebagai Kota Sholawat
dan juga Spirit of Java. Sholawat Barzanji yang awalnya sesuatu yang
jarang, karena NU di Solo adalah minoritas, sekarang menjadi hal yang
seakan harus hadir dalam setiap moment, iya, sejak Jokowi menjadikan
Majelis Dzikir dan Sholawatan sebagai tamu rutin di Balai Kota setiap
Rabiul Awwal. Tidak hanya itu, di Rumah Dinas beliau, Lodji Gandrung
dijadikan tempat rutin taraweh ala Masjidil Haram, 23 rakaat beserta
witir dan mengkhatamkan Al Qur’an.
“Ketika Jamuro pertama kali
diundang di Balai Kota, Pak Jokowi memberi kenang-kenangan, dalam
bungkusan yang sangat tebal, kulo ngiro niku isinya arto Gus, tapi
jebule stiker (saya kira isinya uang, tapi sertanya isinya stiker)
bertuliskan, “Jamuro, dengan Bershalawat Kita Semua Selamat Dunia
Akhirat.”
Aku tertawa mendengar cerita tersebut, sebab
kenang-kenangan tumpukan 5000 stiker sebesar uang kertas, dibungkus
dengan rapi kertas coklat, yang dibuka di depan umum, bisa menjadikan
orang menyangka itu adalah uang puluhan juta. Jebule cuma stiker.
Jamuro, singkatan dari Jam’ah Muji Rosul, awalnya hanya majlis dzikir
tahlil dan pembacaan Barjanji yang menjadi rutinan segelintir jamaah,
tapi sekarang jama’ahnya puluhan ribu dari Solo dan sekitarnya. Dan Pak
Jokowi adalah salah satu pembinanya.
“Lah ndilalah, Pak Jokowi
satu tahun jadi wali kota, kulo kebetulan dados ketua PCNU Solo, jadi
gih saget bersinergi dengan Pak Wali, dan Pak Jokowilah yang mengusulkan
dan yang ngobrak-ngobrakki agar di bentuk Ranting NU di seluruh Solo,
ada 51 Ranting, dan ini baru pertama kalinya PCNU Solo punya ranting,
itu berkat Pak Jokowi dan Pak Jokowi juga yang membuatkan 51 papan nama
untuk ranting NU tersebut,” cerita Pak Dul Kareem dengan antusias.
“Di antara juga, shalat Idul Fitri bisa terlaksana di Balai Kota, itu
juga kebijakan Pak Jokowi dan Pak Jokowi sendiri yang menutupi dua arca
yang di depan balai kota itu, pakai kain mori, ditutup sendiri, padahal
untuk hal seperti itu, nyuruh ajudan kan bisa.” Saya jadi teringat
ketika Jokowi ngangkati gong yang mau ditabuh oleh SBY, entah dalam
pembukaan apa itu, aku lupa.
Hal-hal seperti itu tentu tidak
pernah kita dengar dari mulut Jokowi sendiri, yang kita dengar hanyalah
pembelaan, “Saya Islam, dan saya meyakini kebenaran Islam saya.” Dan
pembelaan diri Jokowi bahwa dirinya dari keluarga muslim yang baik,
yang juga telah melakukan rukun Islam kelima, itu juga baru kita dengar
setelah begitu gencarnya fitnah yang meragukan keislaman dia selama
Pilpres 2014 ini. Selama Pilkada Jakarta, dua tahun lalu, JOKOWI
membiarkan fitnah-fitnah itu bagai angin lalu, Islamku yo Islamku, lapo
dipamer-pamerke… mungkin seperti itu pikirnya. Padahal sekarang yang
lagi naik daun adalah “Akulah yang paling Islam, Akulah yang paling
benar” yang lain KW.
Pak Kiai Dul Kareem, memang tidak semasyhur
poro masyayih maupun poro mursyid, tapi beliau adalah orang yang ikhlas,
dan juga salah satu tokoh yang nasehatnya di dengar Jokowi. Dan Jokowi
pun tidak pernah menarik Pak Dul Kareem dalam ranah politik dia.
“Gus Kareem, saya minta dikawal sampai saya selesai, tapi Panjenengan
hanya bisa menasehati kulo atau memberi usul, tidak bisa merubah
kebijakan saya dalam hal pemerintahan. Kalo dalam hal wudhu, atau
sholat, atau ibadah kulo yang salah, kulo menawi mboten nurut Jenengan,
kulo monggo Jenengan sampluk. (Kalau dala urusan wudhu dan shalat saya
salah, tolong saya diluruskan), itu perkataan Jokowi sendiri ketika dia
menjadi Wali Kota Solo, begitu itu sosok Pak Jokowi Gus, tegas, semua
bawahannya pasti tahu itu.” Akhir cerita PakDul Kareem, allohu yarham.
Terlepas dari penuturan di atas, Jokowi juga mempunyai banyak
kekurangan, dalam pemerintahannya maupun perilaku. Dan itu kalau ditulis
bisa jauh berlampir-lampir, beredisi-edisi, sebab mengurai kekurangan
orang lain tidak akan habisnya. Ia hanyalah manusia biasa. Tapi aku
hanya mengfokuskan diri menjawab pertanyaan teman-temanku selama ini.
Wallohu a’lam bisshowab.
Irfan Nuruddin, santri Pondok Pesantren Langitan, Khodimul ma’had Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo
No comments:
Post a Comment