Oleh: Ishaq Rahman
Sampai 5 hari menjelang pengumuman KPU, kubu Prabowo-Hatta masih yakin bahwa mereka menang. Di sisi lain, kubu Jokowi-JK juga sama yakinnya. Perkembangan terakhir saat postingan ini saya buat adalah:
Sampai 5 hari menjelang pengumuman KPU, kubu Prabowo-Hatta masih yakin bahwa mereka menang. Di sisi lain, kubu Jokowi-JK juga sama yakinnya. Perkembangan terakhir saat postingan ini saya buat adalah:
Seperti diberitakan detiknews.com, hari Jum’at (18/7) kubu
Prabowo-Hatta mengadakan syukuran karena menang dengan selisih 1.6%. Ini
bukan berita main-main (beritanya disini).
Padahal, berdasarkan hasil rekap yang dikerjakan oleh ratusan relawan di www.kawalpemilu.org, Jokowi-JK unggul dengan selisih perolehan 5,68% versi rekap C1, atau selisih 4.44% versi rekap DA1.
Tentu saja ini latar belakang yang “menegangkan”, sebab kubu
Prabowo-Hatta (terutama Hasjim Djojohadikusumo) tidak sedang bercanda
dengan 1.6% itu, sebagaimana juga informasi yang ada di www.kawalpemilu.org juga merupakan hasil olahan data dari “sumber resmi”, yaitu website KPU.
Bagaimana kita memahami konstruksi klaim-klaim ini? Dimana potensi
untuk “memainkan” suara masih bisa terjadi, padahal keterlibatan publik
dalam mengawal perhitungan suara ini begitu ketat?
Akarnya adalah persoalan laten dalam sistem pemilu Indonesia yang
belum juga dituntaskan hingga kini, dan masih saja diwariskan dari waktu
ke waktu, yaitu tata cara penghitungan suara yang panjang.
Bagaimana Suara Dihitung?
Pertama-tama, mari kita pahami proses rekapitulasi penghitungan hasil
Pilpres 2014 serta model-model formulir yang wajib ada. Dasar hukumnya
adalah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 21 Tahun 2014 tentang proses
rekapitulasi dan penetapan Hasil Pilpres 2014 (beberapa pasal telah
diubah dengan PKPU Nomor 31 Tahun 2014).
Perolehan suara hasil Pilpres dihitung secara berjenjang. Setelah
pencoblosan di TPS, suara dihitung dan hasilnya dituangkan di formulir
yang sangat populer sekarang ini dengan nama formulir C1. Setelah itu,
suara dari setiap TPS akan dibawa ke level-level yang lebih tinggi untuk
melalui tahapan rekapitulasi, yaitu:
- Rekapitulasi di tingkat Desa/Kelurahan, dilakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS). Hasilnya dituangkan pada formulir D1.
- Rekapitulasi di tingkat Kecamatan, dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Hasilnya dituangkan pada formulir DA1.
- Rekapitulasi di tingkat Kabupaten/Kota, dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota. Hasilnya dituangkan pada formulir DB1.
- Rekapitulasi di tingkat Propinsi, dilakukan oleh KPU Propinsi. Hasilnya dituangkan pada formulir DC1.
- Rekapitulasi akhir di tingkat nasional, dilakukan oleh KPU Pusat. Hasilnya dituangkan pada formulir DD1.
Menariknya, proses yang legal pada setiap level rekapitulasi itu
adalah “sumber data berasal dari hasil rekap satu level dibawahnya”.
Jadi, hasil rekapitulasi tingkat nasional (formulir DD1), sumber datanya
berasal dari hasil rekapitulasi tingkat propinsi (formulir DC1). Begitu
seterusnya.
Nah, pada perjalanan panjang inilah dapat dipastikan terjadi
degradasi suara pada setiap level yang berpotensi mendistorsi hasil
sesungguhnya. Untuk memahaminya, coba kita lihat hasil rekapitulasi yang
ditampilkan oleh www.kawalpemilu.org (data saya ambil Sabtu, 19 Juli 2014, pukul 01:32 Waktu Jepang, atau Jum’at, 18 Juli 2014, pukul 11:32 WIB).
Menurut versi C1 yang diambil dari website KPU:
- Prabowo-Hatta: 60.038.959 suara (47.16%).
- Jokowi-JK : 67.272.685 suara (52,84%).
- Selisih 7.233.726 suara (5,68%) untuk Jokowi-JK.
Menurut versi DA1 yang juga diambil dari website KPU:
- Prabowo-Hatta: 52.548.070 suara (47,78%)
- Jokowi-JK : 57.435.500 suara (52,22%).
- Selisih 4.887.430 suara (4.44%) untuk Jokowi-JK.
Jika kita perhatikan, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK mengalami
penurunan suara, namun penurunan suara terbesar dialami oleh Jokowi-JK.
Akibatnya, selisih kedua pasangan Capres yang awalnya menurut C1 adalah
5,68% sekarang tinggal 4,44% (menurut DA1). Dan itu baru di level
kecamatan. Jangan lupa, masih ada 3 level lagi setelah
itu (kabupaten/kota, propinsi, dan nasional).
——-
Updated: Barusan saya lihat di Detiknews
data rekap DB1 (tingkat kabupaten/kota) dengan posisi data masuk
84.51%, lagi-lagi selisih kedua pasangan makin dekat tinggal 2.96%.
Sehingga pergerakan selisih kedua pasangan adalah:
C1 –> 5,68%
DA1 –> 4.44%
DB1 –> 2.96%
Jika proses ini dibiarkan, pada rekapitulasi nasional nanti bisa-bisa tinggal 1% atau bahkan kurang, kan?
——
Kejanggalan Proses Rekapitulasi
Ada dua hal mengganggu yang perlu menjadi perhatian kita bersama:
Pertama, dalam rejim
rekapitulasi penghitungan suara menurut PKPU ini, formulir C1 tidak
mempunyai posisi legal pada tingkatan di atas desa/kelurahan. Formulir
C1 adalah “hasil penghitungan suara di TPS”, bukan hasil rekapitulasi
suara. Sehingga, ketika berbicara rekapitulasi, hasil yang pertama
adalah formulir model D1 (rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan), yang
datanya berasal dari formulir C1. Setelah itu, C1 akan “dibangkucadangkan“,
dan hanya akan digunakan jika dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi
kelak. Formulir C1 tidak akan dibuka lagi pada level kecamatan,
kabupaten/kota, propinsi, dan nasional.
Mengapa dalam proses rekapitulasi untuk tingkat kecamatan dan
diatasnya tidak lagi menggunakan C1 sebagai sumber data? Saya tidak
memahami logika pembuat aturan ini, tapi menurut dugaan saya, pembuat
aturan ini menilai bahwa debat soal keabsahan C1 seharusnya sudah
selesai di tingkat desa/kelurahan. Alasannya, saksi-saksi setiap
kandidat yang hadir di TPS seharusnya memiliki “salinan asli” (bukan
foto copy) formulir C1. Jika saksi A dan saksi B dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) masing-masing memiliki salinan C1
yang berbeda, milik siapa yang akan dianggap sebagai hasil yang sah?
Itulah debat di pengadilan jika hasil akhir Pilpres nanti dibawa ke
Mahkamah Konstitusi.
Jika rekapitulasi dilakukan berjenjang dengan sumber awal adalah data
dari C1, apakah mungkin ada perbedaan antara hasil penghitungan suara
C1 dengan hasil rekap di atasnya? Secara logis, harusnya tidak ada.
Tapi, fakta distorsi ini bisa saja terjadi. Kita lihat
www.kawalpemilu.org sudah membuktikan terjadinya perbedaan tersebut,
dimana hasil rekap www.kawalpemilu.org (yang bersumber dari C1) dengan
hasil rekap resmi tingkat kecamatan yang tertuang pada formulir DA1
terdapat selisih signifikan, baik dari sisi perolehan suara maupun
persentase.
Kedua, berdasarkan
pengalaman pada setiap Pemilu (baik pemilukada, pilpres, maupun pemilu
legislatif), titik kritikal rekapitulasi suara sebenarnya ada di tingkat
desa/kelurahan. Mengapa? Karena penghitungan di tingkat ini menggunakan
data primer, yaitu data dari TPS yang tertuang dalam formulir C1.
Sementara penghitungan pada tingkat di atasnya (kecamatan dan
seterusnya) menggunakan data sekunder, bukan data asli dari TPS.
Pertanyaannya: mengapa KPU tidak mempublikasi formulir D1 di website? Coba perhatikan website resmi Pilpres 2014 milik KPU di http://pilpres2014.kpu.go.id/ pada halaman depan. TIDAK ADA link untuk tampilan formulir model D1!
KPU hanya menyediakan link untuk “scan C1″ (TPS), “DA1″ (Kecamatan),
“DB1″ (Kabupaten/Kota), dan “DC1″ (Propinsi). Padahal, sekali lagi,
jembatan emasnya itu adalah D1 (rekap desa/kelurahan), karena data D1
berasal dari data primer di TPS (formulir C1 atau C1 Plano).
Apakah scan C1 yang ada di website KPU dapat menjadi rujukan resmi?
Belum tentu. Scan C1 itu hanyalah salah satu sumber data awal saja,
tapi tidak bisa dikatakan valid karena ada kemungkinan diutak-atik
sebelum diupload. Data yang valid untuk TPS adalah C1 Plano, yaitu kertas besar yang ditempel pada papan saat penghitungan suara di TPS, dan setiap suara ditulis dulu dengan sistem tally
(turus), yaitu garis-garis lurus yang mewakili setiap suara. C1 Plano
ini disaksikan oleh semua orang, bahkan bisa difoto atau direkam dengan
video.
Sementara formulir C1 adalah “pemindahan hasil perhitungan” dari C1
Plano, namun hanya angka saja. Di sini juga ada kelemahan lain, yaitu
baik perolehan suara, jumlah total suara, maupun suara tidak sah hanya
ditulis angka-angka saja, tanpa dilengkapi pelafalan alfabet
(sebagaimana jika kita menulis jumlah uang pada kuitansi). Akibatnya,
terbuka ruang luas untuk mengganti angka-angka di formulir C1 sebelum di
scan dan diupload. Misalnya, angka 0 (nol) atau angka 3 (tiga) bisa disulap menjadi 8 (delapan).
Pada saat melakukan rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan (yang
hasilnya nanti akan dituangkan pada formulir D1), para saksi yang
berbeda pendapat mengenai angka di formulir C1 dapat membuka C1 Plano
tersebut. Sehingga, hasil D1 bukan semata-mata berasal dari formulir
C1, melainkan dari C1 yang terverifikasi. Disinilah titik pentingnya
formulir D1.
Mengenai tidak diuploadnya data formulir D1 di website, KPU bisa
menggunakan alasan: “hal itu tidak diwajibkan oleh aturan”. Memang,
pasal 14 PKPU Nomor 21/2014 menyebutkan (saya copas): “PPS
mengumumkan Rekapitulasi Penghitungan Suara di tingkat desa/kelurahan
atau nama lainnya di tempat yang mudah diakses oleh masyarakat”.
Akan tetapi, kalau PKPU itu dibaca teliti, formulir DA1 juga tidak
perlu ditampilkan di website KPU (lihat pasal 28). Sementara untuk
formulir DB1, DC1, dan DD1, penampilannya di website hanya bersifat
opsional (pasal 42 untuk DB1, pasal 56 untuk DC1, dan pasal 70 ayat 2
untuk DD1 menggunakan kata: “…dan/atau website“).
Sampai disini tampak jelas, ada upaya sistematis untuk
“menyembunyikan” data penting pada formulir D1 dari sorotan publik.
Disinilah potensi titik mula distorsi hasil Pilpres bisa terjadi. Kita
hanya bisa menjelaskan dan memahami kaitan antara data nyata di TPS dan
formulir DA1 (kecamatan) jika ada formulir D1 (desa/kelurahan). Tanpa
D1, kita hanya akan berdebat kusir dan adu kuat bertengkar saja.
Apakah mungkin terjadi perbedaan rekapitulasi antara data DA1
(kecamatan) dengan data DB1 (kabupaten), lalu berbeda lagi dengan data
DC1 (propinsi), dan berbeda lagi dengan data DD1 (nasional)?
Ya, sangat mungkin terjadi. Sekali lagi, ada political game
diproses ini. Pilpres itu bukan urusan ikhlas atau idealisme saja. Ini
adalah politik, dimana kekuasaan itu menjadi target semua aktornya. Ada
aktor yang memilih cara jujur, namun ada juga yang nekad main curang. Oh
ya, sebagai catatan, hasil rekapitulasi di tingkat Propinsi Gorontalo
dan Jawa Barat ternyata berbeda dengan hasil di www.kawalpemilu.org.
(Lihat link berita ini dan berita ini).
Skenario Akhir
Sejak pencoblosan 9 Juli 2014 berakhir dan masing-masing pasangan
mengklaim kemenangan pada sore harinya berdasarkan Quick Count (QC),
perhatian publik langsung terfokus pada soal keabsahan QC itu. Kita
semua tahu, setelah berwacana seminggu lebih, nampaknya publik
lebih percaya pada klaim Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres. Ini karena
keterbukaan lembaga-lembaga pollster yang memenangkan Jokowi-JK membuka diri, bahkan bersedia diaudit.
Sementara kelompok pollster yang memenangkan Prabowo-Hatta
cenderung menghindar dan tidak bersedia memberi tanggung jawab publik
terhadap hasil QC yang dirilis. Ganjalan dari keabsahan pollster
yang memenangkan Jokowi-JK hanyalah “pengumuman kemenangan sangat dini,
ketika data masuk baru sekitar 70%-80%”. Selain ganjalan itu, tidak
ada masalah lain.
Hari-hari setelah pencoblosan kubu Jokowi-JK mengembangkan opini
bahwa kubu Prabowo-Hatta akan mencoba membalikkan kemenangan dengan cara
bermain “tricky” pada proses rekapitulasi suara. Bahkan,
slogan “hanya kecurangan yang bisa mengalahkan kita” yang didengungkan
pendukung Jokowi-JK makin menggema.
Jika diasumsikan bahwa QC yang memenangkan Jokowi-JK benar, berarti
selisih suara adalah sekitar 5% dengan jumlah suara sah lebih kurang 130
juta. Untuk melakukan kecurangan dan membalikkan kemenangan
Prabowo-Hatta harus meng-switch sekitar 4 juta suara agar
dapat unggul sekitar 1%. Nampaknya, ditengah pengawasan publik yang
demikian ketat (termasuk dengan hadirnya www.kawalpemilu.org),
langkah ini akan sulit tercapai. Selain itu, pada konstalasi yang
hanya ada 2 kandidat, sangat sulit untuk “memindah-pindahkan” perolehan
suara.
Akan tetapi, itu tidak berarti kemungkinan untuk menjadi Presiden
bagi Prabowo tertutup sama sekali. Mencermati perkembangan rekapitulasi
ini maka skenario terdekat yang dapat dijalankan adalah: membiarkan
Jokowi-JK menang dengan selisih tipis berdasarkan hasil perhitungan KPU,
lalu merampas kemenangan itu melalui mekanisme legal lain, yaitu proses
di Mahkamah Konstitusi.
Jika saja kemenangan Jokowi-JK hanya dibawah 1% (apalagi jika hanya
nol koma sekian persen), maka peluang merampas kemenangan itu terbuka
lebar. Setidaknya, ada 4 alasan untuk mendukung kemungkinan ini.
Pertama, jika KPU sudah mengumumkan kemenangan (meskipun dengan
selisih sangat tipis), pendukung Jokowi-JK bisa jadi tenggelam pada
euforia, menganggap bahwa perjuangan sudah selesai. Padahal, kubu
Prabowo-Hatta sudah siap membawa kasus ini ke MK jika kalah. Sementara
itu, proses-proses di MK bisa luput dari perhatian publik. (Link berita)
Kedua, sebagaimana dilansir oleh www.kawalpemilu.org, masih ada
potensi perselisihan pada sekitar 8.552 TPS (yang diberi status TPS
error). Jika setiap TPS terdapat 600 pemilih (maksimal), maka ada
potensi kurang lebih 5 juta suara yang masih dapat dieksploitasi. Kalau
debat terjadi soal perbedaan data C1 di Mahkamah Konstitusi, maka
rujukannya (berdasarkan PKPU) adalah tenaga-tenaga Pengawas Pemilu
Lapangan (PPL). Apakah ada jaminan mereka masih netral?
Ketiga, kita patut juga mencurigai orientasi politik hakim-hakim MK.
Jangan lupa, Ketua MK Hamdan Zoelva adalah mantan kader Partai Bulan
Bintang (PBB). Juga ada Hakim MK Patrialis Akbar yang mantan kader
Partai Amanat Nasional (PAN). Kedua partai ini (PBB dan PAN) adalah
partai koalisi pendukung Prabowo-Hatta.
Keempat, keputusan MK bersifat final dan mengikat dan tidak ada
otoritas hukum lain yang dapat mengalahkannya. Begitu hakim MK mengetok
palu, wassalam! Aparat keamanan tinggal mengamankannya.
Tentu saja, kita berharap bahwa situasi tidak seburuk yang saya
bayangkan. Yaitu, KPU dapat menentukan pemenang Pilpres dengan selisih
suara signifikan (misalnya dikisaran 3% atau lebih). Jika ini hasilnya,
kita bisa lega karena metode ilmiah QC tidak kehilangan muka, dan juga
upaya untuk merampas kemenangan sulit terjadi. Selain itu, ini juga
menjadi alat legitimasi peranan masyarakat dan para relawan yang telah
mengawal Pemilu 2014 dengan penuh antusias.
Namun, kita tetap perlu mewaspadainya. “Hope for the best, but plan for the wrost“, begitu kata salah satu dialog di film Bourne Ultimatum.
Terus-terang, saya merasa KPU sedang membodohi publik dengan upload
“Scan C1″ yang digembar-gemborkan sebagai bentuk transparansi itu.
Lokasi TPS itu banyak terdapat di daerah rural yang jauh dari internet.
Publik tidak bisa maksimal memeriksa apakah perolehan suara di TPS
mereka sama dengan scan C1 di website KPU. Sementara publik yang bisa
mengaksesnya, tidak bisa serta menjadikan itu rujukan valid, karena ada
sumber yang lebih valid, yaitu C1 Plano dan formulir D1, yang entah
dimana.
Mungkin imajinasi saya terlalu liar. Yup, sejujurnya saya juga merasa
demikian. Itulah kenapa saya menulis ini. Bukankah menulis adalah
proses menjinakkan imajinasi? (*)
Sumber: Ishaq Rahman
Sumber: Ishaq Rahman
No comments:
Post a Comment