Cotton Twill Shorts: Cotton Twill Shorts With Overall Geo Print by 24:01http://zocko.it/LCg38
Home / Archives for July 2014
Wednesday, July 23, 2014
Cotton Twill Shorts
Monday, July 21, 2014
Lelah Hati Menanti Lahirnya Pemimpin Baru
Prabowo Subianto, Presiden SBY dan Joko Widodo | foto: merdeka.com |
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana politik dan pesta demokrasi dimana rakyat memilih wakilnya maupun pemimpinnya untuk mewakili dan memimpinnya menuju pada kebaikan hidup berbangsa dan bernegara. Pemilu Legislatif pada 9 April 2014 lalu telah usai dan telah ditetapkan para wakil rakyat yang duduk di DPR/DPD/DPRD Provinsi dan Kabupaten. Selanjutnya pada 9 Juli 2014 telah dilakukan pemungutan suara untuk Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI. Saat ini sedang dilakukan Rapat Pleno Rekapitulasi Perolehan Suara secara nasional oleh KPU yang akan menjadi dasar dalam menetapkan pemenang Pilpres 2014 yang sesuai jadwal resmi tanggal 22 Juli 2014. Semua mata dan telinga Rakyat Indonesia ditujukan ke Gedung KPU Jalan Gatot Soebroto Jakarta.
Namun, ditengah prosesi tersebut rakyat Indonesia juga disuguhkan adegan desakan penundaan rekapitulasi tersebut dari kubu Prabowo Subianto - Hatta Rajasa, sementara di kubu Joko Widodo - Jusuf Kalla menghimbau para pendukungnya untuk tenang, tidak perlu merayakan kemenangan dengan aksi dijalan, cukup dirumah atau berdoa syukur saja. Dua adegan ini tentu menambah panjang episode drama Pilpres ini.
Rakyat sebenarnya sudah mulai lelah hati, jenuh dan bahkan muak melihat berbagai intrik saat menunggu proses penetapan siapa yang terpilih. Hal ini disebabkan rakyat sudah kehabisan energi saat bertarung membela kandidatnya di masa kampanye. Berbagai indikasi kejenuhan politik rakyat tersebut bisa dilihat dari kehadiran pemilih di beberapa TPS yang dilakukan pemungutan suara ulang yang sepi dan bahkan sama sekali tidak ada yang datang. Rakyat pun tahu masih ada satu tahapan lagi yang bisa ditempuh kandidat yaitu sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, harga sembako yang naik disaat bulan puasa dan menjelang lebaran tentunya membuat rakyat tambah mual dan muntah melihat para elit yang hanya peduli dengan kursinya tanpa memikirkan apa yang tersaji diatas meja rakyatnya.
Syukurlah ada beberapa anak bangsa yang cukup cerdas memanfaatkan kemampuan IT untuk melakukan real count akibat manuver ketidakpercayaan pada hasil quick count dari beberapa lembaga survey kredibel untuk melumpuhkan kejenuhan politik rakyat, seperti kawalpemilu.org, data-pilpres.umm.ac.id, 2jutarelawan.com, dll. Sehingga sebagian rakyat Indonesia yang sudah melek internet telah mengetahui siapa yang memperoleh suara terbanyak pada gelaran Pilpres 2014.
Entah sampai kapan lelah hati Rakyat Indonesia menantikan ditetapkannya Presiden/Wakil Presiden ini, berharap sikap kenegarawanan dari kandidat mungkin seperti membelai daun di siang bolong berharap tetesan embun. Mungkin hanya mudik ke kampung halaman bertemu keluarga dan teman lama setidaknya mengobati kejenuhan rakyat. Bagi mereka yang mudik harap tetap berhati-hati, agar masih bisa melihat siapa Presiden/Wakil Presiden RI yang terpilih untuk memimpin kita di tahun 2014-2019.
Salam Indonesia Jaya!!
Pesona Gua Krubera (Voronya Cave) Abkhazia Georgia
Gua Krubera (Gua Voronya, kadang-kadang disebut Voronja Cave) merupakan gua terdalam di bumi. Gua Voronja berarti Gua Gagak dalam bahasa Rusia. Diberi nama gua gagak pada tahun 1980, karena sejumlah gagak bersarang di pintu masuk gua. Gua Krubera berada di Massif Arabika dari wilayah Gagrinsky-Caucasus Barat, di distrik Gagra Abkhazia-Georgia. Kedalaman gua Krubera jika diukur dari pintu masuk mencapai 2,191 meter atau 7,188 kaki. Gua ini terletak sekitar 2,256 meter dari permukaan laut di Lembah Ortobalagan. Pada tahun 2004, penelitian speleological dilakukan di gua ini oleh Asosiasi Ekspedisi Ukraina yang mencapai kedalaman lebih dari 2,000 meter. Gua ini diberi nama Krubera setelah ahli gua Alexander Kruber menerima gelar sebagai geografis Rusia. Pendekatan terhadap kedalaman gua menggunakan tali, melalui jalur air yang mengalir melalui gua. Massif Arabika, merupakan rumah dari gua Krubera (Voronya), yaitu salah satu dari gunung tinggi dari kapur karst terbesar di Caucasus Barat. Gua ini selalu dieksplorasi oleh para penjelajah gua, untuk mengetahui kondisi gua, sistem air bawah tanah, pengembangan geologi, dan iklim kuno yang ada di bumi.
Gua
Krubera adalah sistem gua panjang dengan panjang total 16.058 meter
yang untuk sebagian besar terdiri dari, sumur vertikal yang dalam, yang
saling terhubung.Ujung Gua berawal pada ketinggian 2.256 meter, dengan pintu masuk
yang sempit. Gua Krubera sering sangat sempit dan harus dikikis di
banyak tempat untuk memungkinkan perjalanan yang aman. Di bagian lain
adalah lorong yang besar seperti terowongan kereta bawah tanah.Pada
kedalaman 200 meter, gua terbagi menjadi dua cabang utama:
Non-Kuybyshevskaya (dieksplorasi dengan kedalaman 1.293 m pada tahun
2008) dan Main (kedalaman 2.197 m). Pada kedalaman 1.300 meter gua
terbagi lagi menjadi banyak cabang.Ketika speleologists mulai menjelajahi gua, salah satu kesulitan yang
mereka genangan air terowongan yang disebut "sumps." Ketika mereka
menghadapi ini, para penjelajah gua harus membawa peralatan selam. Salah
satu genangan air yang terdalam memiliki kedalaman sampai 52 m.
Sunday, July 20, 2014
Strategi Legal Mencuri Hasil Pemilu Presiden
Oleh: Ishaq Rahman
Sampai 5 hari menjelang pengumuman KPU, kubu Prabowo-Hatta masih yakin bahwa mereka menang. Di sisi lain, kubu Jokowi-JK juga sama yakinnya. Perkembangan terakhir saat postingan ini saya buat adalah:
Sampai 5 hari menjelang pengumuman KPU, kubu Prabowo-Hatta masih yakin bahwa mereka menang. Di sisi lain, kubu Jokowi-JK juga sama yakinnya. Perkembangan terakhir saat postingan ini saya buat adalah:
Seperti diberitakan detiknews.com, hari Jum’at (18/7) kubu
Prabowo-Hatta mengadakan syukuran karena menang dengan selisih 1.6%. Ini
bukan berita main-main (beritanya disini).
Padahal, berdasarkan hasil rekap yang dikerjakan oleh ratusan relawan di www.kawalpemilu.org, Jokowi-JK unggul dengan selisih perolehan 5,68% versi rekap C1, atau selisih 4.44% versi rekap DA1.
Tentu saja ini latar belakang yang “menegangkan”, sebab kubu
Prabowo-Hatta (terutama Hasjim Djojohadikusumo) tidak sedang bercanda
dengan 1.6% itu, sebagaimana juga informasi yang ada di www.kawalpemilu.org juga merupakan hasil olahan data dari “sumber resmi”, yaitu website KPU.
Bagaimana kita memahami konstruksi klaim-klaim ini? Dimana potensi
untuk “memainkan” suara masih bisa terjadi, padahal keterlibatan publik
dalam mengawal perhitungan suara ini begitu ketat?
Akarnya adalah persoalan laten dalam sistem pemilu Indonesia yang
belum juga dituntaskan hingga kini, dan masih saja diwariskan dari waktu
ke waktu, yaitu tata cara penghitungan suara yang panjang.
Bagaimana Suara Dihitung?
Pertama-tama, mari kita pahami proses rekapitulasi penghitungan hasil
Pilpres 2014 serta model-model formulir yang wajib ada. Dasar hukumnya
adalah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 21 Tahun 2014 tentang proses
rekapitulasi dan penetapan Hasil Pilpres 2014 (beberapa pasal telah
diubah dengan PKPU Nomor 31 Tahun 2014).
Perolehan suara hasil Pilpres dihitung secara berjenjang. Setelah
pencoblosan di TPS, suara dihitung dan hasilnya dituangkan di formulir
yang sangat populer sekarang ini dengan nama formulir C1. Setelah itu,
suara dari setiap TPS akan dibawa ke level-level yang lebih tinggi untuk
melalui tahapan rekapitulasi, yaitu:
- Rekapitulasi di tingkat Desa/Kelurahan, dilakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS). Hasilnya dituangkan pada formulir D1.
- Rekapitulasi di tingkat Kecamatan, dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Hasilnya dituangkan pada formulir DA1.
- Rekapitulasi di tingkat Kabupaten/Kota, dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota. Hasilnya dituangkan pada formulir DB1.
- Rekapitulasi di tingkat Propinsi, dilakukan oleh KPU Propinsi. Hasilnya dituangkan pada formulir DC1.
- Rekapitulasi akhir di tingkat nasional, dilakukan oleh KPU Pusat. Hasilnya dituangkan pada formulir DD1.
Menariknya, proses yang legal pada setiap level rekapitulasi itu
adalah “sumber data berasal dari hasil rekap satu level dibawahnya”.
Jadi, hasil rekapitulasi tingkat nasional (formulir DD1), sumber datanya
berasal dari hasil rekapitulasi tingkat propinsi (formulir DC1). Begitu
seterusnya.
Nah, pada perjalanan panjang inilah dapat dipastikan terjadi
degradasi suara pada setiap level yang berpotensi mendistorsi hasil
sesungguhnya. Untuk memahaminya, coba kita lihat hasil rekapitulasi yang
ditampilkan oleh www.kawalpemilu.org (data saya ambil Sabtu, 19 Juli 2014, pukul 01:32 Waktu Jepang, atau Jum’at, 18 Juli 2014, pukul 11:32 WIB).
Menurut versi C1 yang diambil dari website KPU:
- Prabowo-Hatta: 60.038.959 suara (47.16%).
- Jokowi-JK : 67.272.685 suara (52,84%).
- Selisih 7.233.726 suara (5,68%) untuk Jokowi-JK.
Menurut versi DA1 yang juga diambil dari website KPU:
- Prabowo-Hatta: 52.548.070 suara (47,78%)
- Jokowi-JK : 57.435.500 suara (52,22%).
- Selisih 4.887.430 suara (4.44%) untuk Jokowi-JK.
Jika kita perhatikan, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK mengalami
penurunan suara, namun penurunan suara terbesar dialami oleh Jokowi-JK.
Akibatnya, selisih kedua pasangan Capres yang awalnya menurut C1 adalah
5,68% sekarang tinggal 4,44% (menurut DA1). Dan itu baru di level
kecamatan. Jangan lupa, masih ada 3 level lagi setelah
itu (kabupaten/kota, propinsi, dan nasional).
——-
Updated: Barusan saya lihat di Detiknews
data rekap DB1 (tingkat kabupaten/kota) dengan posisi data masuk
84.51%, lagi-lagi selisih kedua pasangan makin dekat tinggal 2.96%.
Sehingga pergerakan selisih kedua pasangan adalah:
C1 –> 5,68%
DA1 –> 4.44%
DB1 –> 2.96%
Jika proses ini dibiarkan, pada rekapitulasi nasional nanti bisa-bisa tinggal 1% atau bahkan kurang, kan?
——
Kejanggalan Proses Rekapitulasi
Ada dua hal mengganggu yang perlu menjadi perhatian kita bersama:
Pertama, dalam rejim
rekapitulasi penghitungan suara menurut PKPU ini, formulir C1 tidak
mempunyai posisi legal pada tingkatan di atas desa/kelurahan. Formulir
C1 adalah “hasil penghitungan suara di TPS”, bukan hasil rekapitulasi
suara. Sehingga, ketika berbicara rekapitulasi, hasil yang pertama
adalah formulir model D1 (rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan), yang
datanya berasal dari formulir C1. Setelah itu, C1 akan “dibangkucadangkan“,
dan hanya akan digunakan jika dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi
kelak. Formulir C1 tidak akan dibuka lagi pada level kecamatan,
kabupaten/kota, propinsi, dan nasional.
Mengapa dalam proses rekapitulasi untuk tingkat kecamatan dan
diatasnya tidak lagi menggunakan C1 sebagai sumber data? Saya tidak
memahami logika pembuat aturan ini, tapi menurut dugaan saya, pembuat
aturan ini menilai bahwa debat soal keabsahan C1 seharusnya sudah
selesai di tingkat desa/kelurahan. Alasannya, saksi-saksi setiap
kandidat yang hadir di TPS seharusnya memiliki “salinan asli” (bukan
foto copy) formulir C1. Jika saksi A dan saksi B dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) masing-masing memiliki salinan C1
yang berbeda, milik siapa yang akan dianggap sebagai hasil yang sah?
Itulah debat di pengadilan jika hasil akhir Pilpres nanti dibawa ke
Mahkamah Konstitusi.
Jika rekapitulasi dilakukan berjenjang dengan sumber awal adalah data
dari C1, apakah mungkin ada perbedaan antara hasil penghitungan suara
C1 dengan hasil rekap di atasnya? Secara logis, harusnya tidak ada.
Tapi, fakta distorsi ini bisa saja terjadi. Kita lihat
www.kawalpemilu.org sudah membuktikan terjadinya perbedaan tersebut,
dimana hasil rekap www.kawalpemilu.org (yang bersumber dari C1) dengan
hasil rekap resmi tingkat kecamatan yang tertuang pada formulir DA1
terdapat selisih signifikan, baik dari sisi perolehan suara maupun
persentase.
Kedua, berdasarkan
pengalaman pada setiap Pemilu (baik pemilukada, pilpres, maupun pemilu
legislatif), titik kritikal rekapitulasi suara sebenarnya ada di tingkat
desa/kelurahan. Mengapa? Karena penghitungan di tingkat ini menggunakan
data primer, yaitu data dari TPS yang tertuang dalam formulir C1.
Sementara penghitungan pada tingkat di atasnya (kecamatan dan
seterusnya) menggunakan data sekunder, bukan data asli dari TPS.
Pertanyaannya: mengapa KPU tidak mempublikasi formulir D1 di website? Coba perhatikan website resmi Pilpres 2014 milik KPU di http://pilpres2014.kpu.go.id/ pada halaman depan. TIDAK ADA link untuk tampilan formulir model D1!
KPU hanya menyediakan link untuk “scan C1″ (TPS), “DA1″ (Kecamatan),
“DB1″ (Kabupaten/Kota), dan “DC1″ (Propinsi). Padahal, sekali lagi,
jembatan emasnya itu adalah D1 (rekap desa/kelurahan), karena data D1
berasal dari data primer di TPS (formulir C1 atau C1 Plano).
Apakah scan C1 yang ada di website KPU dapat menjadi rujukan resmi?
Belum tentu. Scan C1 itu hanyalah salah satu sumber data awal saja,
tapi tidak bisa dikatakan valid karena ada kemungkinan diutak-atik
sebelum diupload. Data yang valid untuk TPS adalah C1 Plano, yaitu kertas besar yang ditempel pada papan saat penghitungan suara di TPS, dan setiap suara ditulis dulu dengan sistem tally
(turus), yaitu garis-garis lurus yang mewakili setiap suara. C1 Plano
ini disaksikan oleh semua orang, bahkan bisa difoto atau direkam dengan
video.
Sementara formulir C1 adalah “pemindahan hasil perhitungan” dari C1
Plano, namun hanya angka saja. Di sini juga ada kelemahan lain, yaitu
baik perolehan suara, jumlah total suara, maupun suara tidak sah hanya
ditulis angka-angka saja, tanpa dilengkapi pelafalan alfabet
(sebagaimana jika kita menulis jumlah uang pada kuitansi). Akibatnya,
terbuka ruang luas untuk mengganti angka-angka di formulir C1 sebelum di
scan dan diupload. Misalnya, angka 0 (nol) atau angka 3 (tiga) bisa disulap menjadi 8 (delapan).
Pada saat melakukan rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan (yang
hasilnya nanti akan dituangkan pada formulir D1), para saksi yang
berbeda pendapat mengenai angka di formulir C1 dapat membuka C1 Plano
tersebut. Sehingga, hasil D1 bukan semata-mata berasal dari formulir
C1, melainkan dari C1 yang terverifikasi. Disinilah titik pentingnya
formulir D1.
Mengenai tidak diuploadnya data formulir D1 di website, KPU bisa
menggunakan alasan: “hal itu tidak diwajibkan oleh aturan”. Memang,
pasal 14 PKPU Nomor 21/2014 menyebutkan (saya copas): “PPS
mengumumkan Rekapitulasi Penghitungan Suara di tingkat desa/kelurahan
atau nama lainnya di tempat yang mudah diakses oleh masyarakat”.
Akan tetapi, kalau PKPU itu dibaca teliti, formulir DA1 juga tidak
perlu ditampilkan di website KPU (lihat pasal 28). Sementara untuk
formulir DB1, DC1, dan DD1, penampilannya di website hanya bersifat
opsional (pasal 42 untuk DB1, pasal 56 untuk DC1, dan pasal 70 ayat 2
untuk DD1 menggunakan kata: “…dan/atau website“).
Sampai disini tampak jelas, ada upaya sistematis untuk
“menyembunyikan” data penting pada formulir D1 dari sorotan publik.
Disinilah potensi titik mula distorsi hasil Pilpres bisa terjadi. Kita
hanya bisa menjelaskan dan memahami kaitan antara data nyata di TPS dan
formulir DA1 (kecamatan) jika ada formulir D1 (desa/kelurahan). Tanpa
D1, kita hanya akan berdebat kusir dan adu kuat bertengkar saja.
Apakah mungkin terjadi perbedaan rekapitulasi antara data DA1
(kecamatan) dengan data DB1 (kabupaten), lalu berbeda lagi dengan data
DC1 (propinsi), dan berbeda lagi dengan data DD1 (nasional)?
Ya, sangat mungkin terjadi. Sekali lagi, ada political game
diproses ini. Pilpres itu bukan urusan ikhlas atau idealisme saja. Ini
adalah politik, dimana kekuasaan itu menjadi target semua aktornya. Ada
aktor yang memilih cara jujur, namun ada juga yang nekad main curang. Oh
ya, sebagai catatan, hasil rekapitulasi di tingkat Propinsi Gorontalo
dan Jawa Barat ternyata berbeda dengan hasil di www.kawalpemilu.org.
(Lihat link berita ini dan berita ini).
Skenario Akhir
Sejak pencoblosan 9 Juli 2014 berakhir dan masing-masing pasangan
mengklaim kemenangan pada sore harinya berdasarkan Quick Count (QC),
perhatian publik langsung terfokus pada soal keabsahan QC itu. Kita
semua tahu, setelah berwacana seminggu lebih, nampaknya publik
lebih percaya pada klaim Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres. Ini karena
keterbukaan lembaga-lembaga pollster yang memenangkan Jokowi-JK membuka diri, bahkan bersedia diaudit.
Sementara kelompok pollster yang memenangkan Prabowo-Hatta
cenderung menghindar dan tidak bersedia memberi tanggung jawab publik
terhadap hasil QC yang dirilis. Ganjalan dari keabsahan pollster
yang memenangkan Jokowi-JK hanyalah “pengumuman kemenangan sangat dini,
ketika data masuk baru sekitar 70%-80%”. Selain ganjalan itu, tidak
ada masalah lain.
Hari-hari setelah pencoblosan kubu Jokowi-JK mengembangkan opini
bahwa kubu Prabowo-Hatta akan mencoba membalikkan kemenangan dengan cara
bermain “tricky” pada proses rekapitulasi suara. Bahkan,
slogan “hanya kecurangan yang bisa mengalahkan kita” yang didengungkan
pendukung Jokowi-JK makin menggema.
Jika diasumsikan bahwa QC yang memenangkan Jokowi-JK benar, berarti
selisih suara adalah sekitar 5% dengan jumlah suara sah lebih kurang 130
juta. Untuk melakukan kecurangan dan membalikkan kemenangan
Prabowo-Hatta harus meng-switch sekitar 4 juta suara agar
dapat unggul sekitar 1%. Nampaknya, ditengah pengawasan publik yang
demikian ketat (termasuk dengan hadirnya www.kawalpemilu.org),
langkah ini akan sulit tercapai. Selain itu, pada konstalasi yang
hanya ada 2 kandidat, sangat sulit untuk “memindah-pindahkan” perolehan
suara.
Akan tetapi, itu tidak berarti kemungkinan untuk menjadi Presiden
bagi Prabowo tertutup sama sekali. Mencermati perkembangan rekapitulasi
ini maka skenario terdekat yang dapat dijalankan adalah: membiarkan
Jokowi-JK menang dengan selisih tipis berdasarkan hasil perhitungan KPU,
lalu merampas kemenangan itu melalui mekanisme legal lain, yaitu proses
di Mahkamah Konstitusi.
Jika saja kemenangan Jokowi-JK hanya dibawah 1% (apalagi jika hanya
nol koma sekian persen), maka peluang merampas kemenangan itu terbuka
lebar. Setidaknya, ada 4 alasan untuk mendukung kemungkinan ini.
Pertama, jika KPU sudah mengumumkan kemenangan (meskipun dengan
selisih sangat tipis), pendukung Jokowi-JK bisa jadi tenggelam pada
euforia, menganggap bahwa perjuangan sudah selesai. Padahal, kubu
Prabowo-Hatta sudah siap membawa kasus ini ke MK jika kalah. Sementara
itu, proses-proses di MK bisa luput dari perhatian publik. (Link berita)
Kedua, sebagaimana dilansir oleh www.kawalpemilu.org, masih ada
potensi perselisihan pada sekitar 8.552 TPS (yang diberi status TPS
error). Jika setiap TPS terdapat 600 pemilih (maksimal), maka ada
potensi kurang lebih 5 juta suara yang masih dapat dieksploitasi. Kalau
debat terjadi soal perbedaan data C1 di Mahkamah Konstitusi, maka
rujukannya (berdasarkan PKPU) adalah tenaga-tenaga Pengawas Pemilu
Lapangan (PPL). Apakah ada jaminan mereka masih netral?
Ketiga, kita patut juga mencurigai orientasi politik hakim-hakim MK.
Jangan lupa, Ketua MK Hamdan Zoelva adalah mantan kader Partai Bulan
Bintang (PBB). Juga ada Hakim MK Patrialis Akbar yang mantan kader
Partai Amanat Nasional (PAN). Kedua partai ini (PBB dan PAN) adalah
partai koalisi pendukung Prabowo-Hatta.
Keempat, keputusan MK bersifat final dan mengikat dan tidak ada
otoritas hukum lain yang dapat mengalahkannya. Begitu hakim MK mengetok
palu, wassalam! Aparat keamanan tinggal mengamankannya.
Tentu saja, kita berharap bahwa situasi tidak seburuk yang saya
bayangkan. Yaitu, KPU dapat menentukan pemenang Pilpres dengan selisih
suara signifikan (misalnya dikisaran 3% atau lebih). Jika ini hasilnya,
kita bisa lega karena metode ilmiah QC tidak kehilangan muka, dan juga
upaya untuk merampas kemenangan sulit terjadi. Selain itu, ini juga
menjadi alat legitimasi peranan masyarakat dan para relawan yang telah
mengawal Pemilu 2014 dengan penuh antusias.
Namun, kita tetap perlu mewaspadainya. “Hope for the best, but plan for the wrost“, begitu kata salah satu dialog di film Bourne Ultimatum.
Terus-terang, saya merasa KPU sedang membodohi publik dengan upload
“Scan C1″ yang digembar-gemborkan sebagai bentuk transparansi itu.
Lokasi TPS itu banyak terdapat di daerah rural yang jauh dari internet.
Publik tidak bisa maksimal memeriksa apakah perolehan suara di TPS
mereka sama dengan scan C1 di website KPU. Sementara publik yang bisa
mengaksesnya, tidak bisa serta menjadikan itu rujukan valid, karena ada
sumber yang lebih valid, yaitu C1 Plano dan formulir D1, yang entah
dimana.
Mungkin imajinasi saya terlalu liar. Yup, sejujurnya saya juga merasa
demikian. Itulah kenapa saya menulis ini. Bukankah menulis adalah
proses menjinakkan imajinasi? (*)
Sumber: Ishaq Rahman
Sumber: Ishaq Rahman
Saturday, July 19, 2014
Real Count 5 Lembaga/Relawan Unggulkan Joko Widodo - Jusuf Kalla
Beberapa lembaga/kelompok yang melakukan perhitungan dari data C1,
DA1 dan DB1 yang bersumber dari data yang diunggah di website resmi KPU
RI menunjukkan persentase perolehan suara pasangan Joko Widodo - Jusuf
Kalla mengungguli pasangan Prabowo - Hatta Rajasa dengan dengan selisih
sekitar 3% - 5%
Berikut rinciannya tabulasi data perolehan
suara secara nasional dari masing-masing website pada Sabtu, 19/07/2014
pukul 07.30 Wita:
1.Relawan Independen www.kawalpemilu.org
Prabowo-Hatta : 60.148.218 (47.14%)
1.Relawan Independen www.kawalpemilu.org
Prabowo-Hatta : 60.148.218 (47.14%)
Jokowi-JK : 67.424.308 (52.85%)
Data C1 masuk: 99,94%
2. Lembaga Infokom Univ. Muhammadiyah Malang http://data-pilpres.umm.ac.id/index.php?pages=prov
Prabowo-Hatta : 54.596.800 (47,99%)
Jokowi-JK : 59.172.086 (52,01%)
Prabowo-Hatta : 54.596.800 (47,99%)
Jokowi-JK : 59.172.086 (52,01%)
Data DB1 masuk: 84,31%
3. Relawan Prabowo-Hatta Bowoharja Wing Cyber www.bowoharja.biz
Prabowo-Hatta : 52,625,669 (47.7%)
Jokowi-JK : 57,701,734 (52.3%)
Data DA1 masuk: 83%
4. Gerakan 2 Juta Relawan www.2jutarelawan.com
Prabowo-Hatta: 60.155.567 (47,19%)
Jokowi-JK : 67.316.915 (52,81%)
Prabowo-Hatta : 54,596,800 (47,99%)
Jokowi-JK : 59,172,086 (52,01%)
Data DB1 masuk: 84,51%
Jokowi-JK : 59,172,086 (52,01%)
Data DB1 masuk: 84,51%
Dengan mengacu pada data diatas maka kita dapat mengambil simpulan bahwa pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla sementara unggul. Rekapitulasi nasional sekaligus penetapan Calon Presiden/Wakil Presiden terpilih akan dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum RI pada tanggal 22 Juli 2014.
Salam Indonesia Damai
Thursday, July 17, 2014
Situs www.kawalpemilu.org Menjadi Situs Rujukan Utama Ditengah Kebingungan Data Real Count Pilpres 2014
Tampilan sederhana www.kawalpemilu.org |
Ditengah kebingungan rakyat Indonesia atas data hasil perolehan pemungutan suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden/Wakil Presiden RI Periode 2014-2019 yang sudah dilaksanakan pada 9 Juli 2014 lalu, demikian juga data quick count yang di rilis oleh beberapa lembaga survey juga menimbulkan polemik dikarenakan perbedaan hasil, tiba-tiba muncul situs www.kawalpemilu.org yang menyajikan tabulasi data real count dari hasil scan form C1 KPU.Situs www.kawalpemilu.org ini kemudian menjadi salah satu rujukan utama publik Indonesia karena dianggap mampu menyajikan data hasil tabulasi perolehan suara Pilpres dari dua kandidat.
Sebenarnya siapa sosok dibalik situs tersebut? Jawabnya adalah Ainun Najib bukan Emha Ainun Najib yang cendekiawan terkenal itu. Ainun Najib sosok utama yang menginisiasi website tersebut. Ainun adalah
alumnus Nanyang Technological University dan berdomisili di Singapura.
Ainun juga pernah menjadi juara olimpiade matematika. Ia kini bekerja
sebagai konsultan di sebuah perusahaan teknologi informasi terkemuka. Laki-laki kurus dan memelihara jenggot ini lahir 20
Oktober 1985 di pelosok desa. Ainun lahir dari pasangan Abdul Rozaq dan
Rustinah di Desa Klotok, Kecamatan Balongpanggang, Kabupaten Gresik,
Jawa Timur.
Ainun Najib dan anaknya |
Apa latar belakang Ainun membuat kawalpemilu.org?
"Kita menyambut ajakan KPU dan Presiden SBY untuk mengawal penghitungan suara. Kedua capres juga menyerukan untuk mengawal. Kita lihat datanya tersedia, dan secara teknologi informasi bisa dioprek ternyata," kata Ainun kepada Metrotvnews.com melalui sambungan telepon, pada Selasa (15/7/2014).
Dalam hal ini Ainun tidak sendiri. Dia dibantu dua programmer yang saat ini bekerja di perusahaan teknologi ternama di Silicon Valley, Amerika Serikat. Keduanya anak Indonesia alumni Tim Olimpiade Komputer Indonesia. "Perusahaannya kita sudah tahu semua. Dua orang programmer itu yang membuat programnya," ujar Ainun dalam logat Jawa yang kental.Sayangnya kedua programmer itu enggan dimunculkan identitasnya.
"Kita menyambut ajakan KPU dan Presiden SBY untuk mengawal penghitungan suara. Kedua capres juga menyerukan untuk mengawal. Kita lihat datanya tersedia, dan secara teknologi informasi bisa dioprek ternyata," kata Ainun kepada Metrotvnews.com melalui sambungan telepon, pada Selasa (15/7/2014).
Dalam hal ini Ainun tidak sendiri. Dia dibantu dua programmer yang saat ini bekerja di perusahaan teknologi ternama di Silicon Valley, Amerika Serikat. Keduanya anak Indonesia alumni Tim Olimpiade Komputer Indonesia. "Perusahaannya kita sudah tahu semua. Dua orang programmer itu yang membuat programnya," ujar Ainun dalam logat Jawa yang kental.Sayangnya kedua programmer itu enggan dimunculkan identitasnya.
"Mereka membuat sistem dalam waktu dua hari," kata Ainun kepada Metrotvnews.com. Ainun sendiri berdomisili di Singapura. Mereka bekerja secara remote dan mengandalkan komunikasi dunia maya.
Dijelaskan dia, data yang muncul di website KPU kemudian diambil secara sistem ke kawalpemilu.org. Ainun mengaku menggunakan dua server. Satu server untuk internal, satu server untuk kepentingan penayangan situs kawalpemilu.org. ke publik.
"Server yang internal ini kami rahasiakan. Jadi kalau ada serangan, ada contigency plan yang kami siapkan," kata dia.
Untuk entry data, Ainun sejauh ini mengandalkan 700 relawan yang menggunakan Facebook sebagai basis akun untuk bisa menginput data. "Jadi 700 relawan itu bergabung di Facebook group kami dan hanya mereka yang punya akses ke server internal kami," jelasnya.
Server yang dibuka untuk publik itulah yang mengambil data setiap 10 menit dari server internal. Ainun juga mengatakan, setiap ada data masuk akan diketahui siapa yang memasukkan. "Jadi kalau ada yang mengacau, bisa kita ketahui," imbuhnya.
Menurut Menurut Elisa Sutanudjaja, salah satu relawan tim kawalpemilu.org menggunakan alat scanner dalam bentuk program (software) yang ditaruh tepat di lembar scan
KPU. Dengan cara ini, tiap KPU memperbarui data, tabulasi hasil
rekapitulasi milik Kawalpemilu.org juga ikut diperbarui. Program yang
digunakan hanya men-scan bagian tertentu, seperti angka. “Data asli dari KPU. Tiap kali KPU ganti data, (data) kami juga ter-update,” katanya.
Elisa menuturkan timnya bisa melakuan tabulasi hasil rekapitulasi disebabkan oleh pemerintah sudah menginisiasi open government. Atas hal ini, KPU pun harus menampilkannya dalam bentuk open data. Dengan bentuk open data, hal tersebut bisa dilakukan dengan menentukan format tertentu dari scan serta resolusinya.
Elisa mengklaim timnya tidak perlu meminta izin kepada KPU lantaran mendapatkan paparan dari open data lembaga penyelenggara pemilu itu. “Mau-tidak mau kodenya terbuka untuk umum, koding-nya terbuka,” ujarnya.
Laman http://kawalpemilu.org membuat tabulasi hasil rekapitulasi C1 dari situs www.kpu.go.id. Data tersebut diunggah dan diperbarui setiap sekitar sepuluh menit. Situs yang menampilkan data real count ini bukan resmi dari KPU
Elisa menuturkan timnya bisa melakuan tabulasi hasil rekapitulasi disebabkan oleh pemerintah sudah menginisiasi open government. Atas hal ini, KPU pun harus menampilkannya dalam bentuk open data. Dengan bentuk open data, hal tersebut bisa dilakukan dengan menentukan format tertentu dari scan serta resolusinya.
Elisa mengklaim timnya tidak perlu meminta izin kepada KPU lantaran mendapatkan paparan dari open data lembaga penyelenggara pemilu itu. “Mau-tidak mau kodenya terbuka untuk umum, koding-nya terbuka,” ujarnya.
Laman http://kawalpemilu.org membuat tabulasi hasil rekapitulasi C1 dari situs www.kpu.go.id. Data tersebut diunggah dan diperbarui setiap sekitar sepuluh menit. Situs yang menampilkan data real count ini bukan resmi dari KPU
Friday, July 11, 2014
RRI: Quickcount Perolehan Suara Pilpres 2014
| ||
Pasangan Jokowi-JK meraih suara terbanyak berdasarkan hitung cepat (quick count) Radio Republik Indonesia (RRI). Berdasarkan sampel 98,78 persen suara yang sah, pasangan nomor urut 2 itu mengumpulkan 52,49 persen suara. Adapun, pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan 47,51 persen suara. Dari 33 provinsi, Prabowo-Hatta menang di 11 provinsi, termasuk Aceh, Sumbar, Jabar, dan dan Banten. Sedangkan, Jokowi-JK unggul di 22 provinsi, di antaranya Sumut, DKI Jakarta, Jateng, Jatim, dan Bali, yang merupakan basis PDIP. Seperti diketahui, hitung cepat RRI merupakan yang terakurat dan paling presesi di Pileg 9 April lalu. Direktur Utama RRI Rosalita Niken Widiastuti mengatakan, hasil di pileg lalu, margin of error dari hitung cepat RRI dibanding KPU adalah 0,41 persen. "Ternyata angka ini lebih kecil dibanding perkiraan kami sebesar 1 persen. Target kami pada pemilihan presiden nanti, angkanya bisa lebih kecil lagi atau minimal sama dengan Pileg,” ujarnya belum lama ini. | ||
Metodelogi Quick Count | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Metode yang digunakan RRI adalah metode kuantitatif dengan multy stage random sampling. Dengan sistem ini, RRI menentukan 2 ribu TPS amatan yang dipilih dengan pertimbangan paling merepresentasikan suara pemilih. Kali ini, RRI akan menerjunkan 2 ribu timnya ke 2 ribu TPS amatan tersebut dengan satu orang bertugas di satu TPS. Komposisi timnya adalah 60 persen merupakan karyawan RRI dan 40 persen relawan dari kalangan pelajar, mahasiswa, maupun pendengar setia RRI. Berdasarkan Rilis RRI, berikut Perolehan Suara Pilpres Berdasarkan Propinsi:
|
Tuesday, July 8, 2014
Pencipta Gambar Garuda Pancasila
Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu?
Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie,
putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.
Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu.
Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. http://anehdidunia.blogspot.com
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan).
Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.
Sultan Hamid II Pencipta Burung Garuda
Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang bergelar Sultan Hamid Alkadrie II dan Sultan ke 8 Pontianak, Kalbar ini adalah pencipta Burung Garuda. Sultan Hamid juga orang Indonesia pertama yang berpangkat tertinggi di dunia militer.
Pontianak: Nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie memang kurang dikenal di Tanah Air. Padahal, tokoh nasional dari Pontianak, Kalimantan Barat ini adalah pencipta lambang negara Indonesia, Burung Garuda.
Selain pencipta lambang negara, Syarif yang bergelar Sultan Hamid Alkadrie II dan Sultan ke 8 Pontianak ini juga adalah orang Indonesia pertama yang berpangkat tertinggi di dunia militer, yaitu mayor jendral.
Sultan Hamid membuat lambang negara berdasarkan penugasan Presiden Sukarno pada 1950. Saat itu dia menjabat menteri tanpa porto folio. Rekannya, Muhammad Yamin sebenarnya juga membuat rancangan lambang negara, Namun, Sukarno akhirnya memilih rancangan Sultan Hamid. Setelah disempurnakan, gambar Burung Garuda diresmikan Sukarno sebagai lambang negara pada 10 Februari 1950.
Salinan sketsa Burung Garuda yang tersimpan di Keraton Kadriah, Pontianak ini menunjukkan proses pembuatan lambang negara sangat rumit hingga harus diubah berkali-kali.
Subscribe to:
Posts (Atom)