Pasca Pileg 9 April 2014, pemberitaan di media massa nasional maupun
lokal dijejali berita politik, selain perolehan suara sementara dari
masing-masing partai, kecurangan Pemilu, Caleg yang stres, kandidat
Capres/Cawapres, kita pun terseret pada arus analisisa koalisi partai
untuk persyaratan menuju Pilpres 9 Juli 2014. Para pengamat politik pun
dipaksa untuk mengeluarkan isi otaknya untuk menganalisa koalisi partai
untuk mengusung Capres/Cawapres yang nantinya bakal bertarung di laga
Pilpres nanti. Sampai saat ini, baru koalisi/kerjasama PDIP-NasDem yang
sepakat untuk mengusung Joko Widodo sebagai Capres. Partai-partai lain
masih sementara melakukan komunikasi/lobi.
Sebagai orang yang awam dengan dunia politik tentunya saya hanya bisa
menunggu hasil dari komunikasi para elit partai politik tersebut yang
akan menyajikan pasangan Capres/Cawapres untuk kemudian menjadi
pertimbangan dalam menentukan pilihan pemimpin NKRI Periode 2014-2019
nanti.
Pada sisi yang berbeda, mungkin juga ini sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari proses komunikasi tersebut menuju pada tahapan kompromi
politik koalisi, ada beberapa proses yang perlu kita sebagai rakyat
yang hanya mampu memilih hasil koalisi untuk dicermati secara bijak.
Proses tersebut yaitu pertunjukan "politik gaduh" yang entah di sengaja (by design) dari invisible hand atau hanya merupakan Pileg Effect yang harus kita cermati secara bijak agar kita juga tidak terjebak dalam politik gaduh tersebut.
Tafsiran kita terhadap "Politik gaduh" yang dipertontonkan tersebut
dikhawatirkan akan menjadi kekisruhan horizontal terutama bagi
masing-masing pendukung partai maupun Capres/Cawapres. Beberapa "politik
gaduh" yang terjadi pasca Pileg, antara lain:
1. Pecah belah partai
Beberapa partai coba dihancurkan/lemahkan dengan menimbulkan konflik internal partai tersebut. Cara ini paling efektif. PDIP coba digembosi dengan isu Puan yang memarahi Jokowi sebagaimana diberitakan oleh media The Jakarta Post, baca disini. Klarifikasi dari Puan dan Jokowi baca disini. Upaya menggembosi partai berlambang banteng dengan memanfaatkan kisruh internal seperti salah satu media tv nasional juga mewawancarai ketidak setujuan Guruh Soekarnoputra terhadap pencalonan Jokowi, baca juga disini. Namun sampai saat ini PDIP belum menunjukkan keretakan.
Hal yang berbeda terjadi pada salah satu partai Islam tertua PPP. Ketidaksetujuan beberapa pengurus pada kehadiran SDA saat kampanye akbar partai Gerindra berujung pada keretakan partai dengan pemecatan yang dilakukan Ketua Umum SDA terhadap beberapa pengurus dan DPW, baca disini. Mungkin nanti ada lagi partai yang retak?
Beberapa partai coba dihancurkan/lemahkan dengan menimbulkan konflik internal partai tersebut. Cara ini paling efektif. PDIP coba digembosi dengan isu Puan yang memarahi Jokowi sebagaimana diberitakan oleh media The Jakarta Post, baca disini. Klarifikasi dari Puan dan Jokowi baca disini. Upaya menggembosi partai berlambang banteng dengan memanfaatkan kisruh internal seperti salah satu media tv nasional juga mewawancarai ketidak setujuan Guruh Soekarnoputra terhadap pencalonan Jokowi, baca juga disini. Namun sampai saat ini PDIP belum menunjukkan keretakan.
Hal yang berbeda terjadi pada salah satu partai Islam tertua PPP. Ketidaksetujuan beberapa pengurus pada kehadiran SDA saat kampanye akbar partai Gerindra berujung pada keretakan partai dengan pemecatan yang dilakukan Ketua Umum SDA terhadap beberapa pengurus dan DPW, baca disini. Mungkin nanti ada lagi partai yang retak?
2. Eskalasi isu SARA semakin meningkat.
Pertarungan Pileg/Pilpres juga merupakan pertarungan kepentingan para elit politik dan kaum pemodal (kapitalis). Rumor bahwa Jokowi didukung oleh puluhan konglomerat keturunan Tionghoa dan didukung pihak asing merebak. Demikian juga Prabowo yang didukung adiknya Hasyim Djoyohadikusumo yang beragama Kristen bersama koleganya. Bila terjadi pertarungan antara koalisi partai nasionalis dan partai berbasis agama tentu ini sesuatu yang sangat "seru". Isu kedaerahan pun masih ada dengan beberapa upaya memasangkan Capres/Cawapres dari tokoh Indonesia Timur dan Indonesia Barat.
Pertarungan Pileg/Pilpres juga merupakan pertarungan kepentingan para elit politik dan kaum pemodal (kapitalis). Rumor bahwa Jokowi didukung oleh puluhan konglomerat keturunan Tionghoa dan didukung pihak asing merebak. Demikian juga Prabowo yang didukung adiknya Hasyim Djoyohadikusumo yang beragama Kristen bersama koleganya. Bila terjadi pertarungan antara koalisi partai nasionalis dan partai berbasis agama tentu ini sesuatu yang sangat "seru". Isu kedaerahan pun masih ada dengan beberapa upaya memasangkan Capres/Cawapres dari tokoh Indonesia Timur dan Indonesia Barat.
Pertanyaan bagi kita semua, siapa yang tersenyum dan mengambil manfaat
dari semua peristiwa politik gaduh diatas? Yang pasti rakyat jelata
kembali merana.
No comments:
Post a Comment