Tuesday, April 22, 2014

Fadli Zon Tidak Bermental Pasukan Nasi Bungkus

Menarik sekali kita menikmati Pemilihan Umum di tahun 2014. Kita masyarakat awam dihibur dengan sandiwara partai politik, caleg, quick count, kecurangan di beberapa TPS, praktek suap politik berbau sumbangan maupun money politic. Kadang kita dibuat tersenyum, terharu, marah bahkan sampai menangis tersedu sedan melihat lakon elit politik kita yang dengan bangga menggadaikan suara kita untuk membentuk koalisi/kerjasama guna mengusung Calon Presiden/Wakil Presiden serta bagi-bagi kekuasaan. Mereka dengan sombongnya memainkan lakon diatas panggung demokrasi, sementara kita menatap penuh harap dengan mata melongo bercampur derai air mata.

Di sela-sela kebingungan dengan sandiwara tersebut, perasaan dongkol kita sedikit terobati dengan perang puisi hasil karya politisi pujangga di era reformasi ini. Kita dibuat harap-harap cemas menunggu setiap karya puisinya. Teringat juga pada Pemilu sebelumnya kita dibuat menunggu lagu ciptaan karya dari politisi SBY. Pada Pemilu 2014 ini harus kita akui Fadli Zon (politisi Partai Gerindra) berhasil membentuk warna tersendiri dengan karya-karya puisi satirnya dan berhasil menjaring politisi lainnya untuk mengeluarkan kemampuan menulis puisi seperti Fahmi Habcy (politisi PDIP). Maka episode perang puisi pun terjadi.

Kali ini saya akan membedah makna dibalik puisi karya Fadli Zon. Tentunya dari sudut pandang saya sebagai anak bangsa yang hanya bisa menikmati karya puisi para pujangga kita (sampai sekarang saya hanya menulis 1 judul puisi berjudul Bisikanku padamu Kartini yang bagi saya itu hanya curahan hati). Kembali ke puisi Fadli Zon silahkan dibaca dulu karyanya diawah ini yang berjudul "Pasukan Nasi Bungkus"

Pasukan Nasi Bungkus - Fadli Zon  | sumber: twitter.com/fadlizon

Menarik sekali puisinya, maka saya pun tertarik untuk membedah maknanya. Khususnya kesetiaan para pasukan di medan juang

1. Fadli Zon secara jujur mengakui dirinya komandan pasukan.
Fadli Zon dikenal sebagai politisi Partai Gerindra dengan jabatan Wakil Ketua Umum Bidang Politik, hukum dan keamanan, jabatan yang cukup strategis ditambah lagi sebagaiKetua Badan Komunikasi Partai Gerindra yang bertugas melakukan komunikasi dan penyebaran informasi tentang aktivitas partai dan Capres PS. Tanggungjawab itu pula secara ex-officio menempatkan dirinya menjadi Komandan Pasikus (Pasukan Nasi Bungkus) yang menurut Fadli Zon sebuah laskar cyber yang bekerja dibelakang komputer bersenjatakan facebook dan twitter bertugas menyerang lawan politik dengan cara fitnah dan mencaci maki. Pasikus ini tidak pernah menyerah dan gentar tanpa takut dosa walaupun bayarannya hanya nasi bungkus dan pulsa. Fadli Zon dibantu tim media yang dikoordinir oleh Budi Purnomo Karjodihardjo. 

Operasi siluman Pasikus sangat lebih terlatih dan terorganisir mengingat Capres Gerindra mantan panglima pasukan elit kebanggaan Indonesia dan ini berhasil menaikkan perolehan suara partai Gerindra dari Pemilu 2009 yang hanya 4.46 % menjadi kisaran 11 - 12 % (baca Tim Maksimal). Seorang dosen psikologi UI Dewi Haroen mengakui Gerindra tepat memilih pasukan. Diakui media luar negeri, baca disini. Walaupun juga sering mendapat serangan berbagai isu dari tim partai lain. Hal ini diakui oleh Budi (baca: Diserang kampanye hitam, Ciptakan Serangan Balik). Pasikus mengalahkan tim media parpol lainnya, baca pengakuan Ganjar Pranowo disini Kalah Media .
Selain itu Partai Gerindra juga memiliki Pasukan Ambulance yang siap membantu pasien maupun orang yang meninggal. Pasukan ini cukup efektif dalam meraih simpati masyarakat.

2. Fadli Zon mulai frustasi tak mendapat tanggapan dari sasarannya.
Menjelang pelaksanaan Pileg 9 April 2014 dan setelahnya, Fadli Zon rajin dan bersemangat menulis puisi satir yang ditujukan pada partai politik tertentu. Mulai dari puisi berjudul Air Mata Buaya, Sajak Seekor Ikan, Sandiwara, Menuju Indonesia Raya, Sajak Tentang Boneka, Raisopopo dan Pasukan Nasi Bungkus, bahkan bosnya pun ikut menulis puisi dengan judul Asal Santun. Namun usaha Fadli Zon untuk mengajak pimpinan Parpol maupun Capresnya belajar menulis puisi belum berhasil. 
Ajakan menulis puisi hanya disahuti kader parpol Firman Tendry dengan puisinya Teriakan Diatas Kuda, Fahmi Habcy menulis Pemimpin Tanpa Kuda, Rempong, Aku iso Opo dan Kembalikan Mas Widji. 
Si Kutu (Kurus Tulen) yang menjadi sasaran utama tak tertarik, malah mengatakan dia hanya mau membaca puisi karya sastrawan seperti Chairil Anwar, W.S . Rendra, Widji Thukul. Nah, Fadli Zon frustasi. 
Maka ditulislah puisi Pasukan Nasi Bungkus buat laskar Tim Nasi Bungkus (Timnaskus) dengan harapan laskar tersebut mau berpindah dari belakang komputer untuk ikut hadir memakan nasi bungkus yang sudah disediakannya. Asyiknya rame-rame. Namun Timnasikus tetap konsentrasi dielakang komputernya, akibatnya nasi bungkus yang sudah dipesan sangat banyak tersebut hanya mubazir. Padahal masih banyak saudara/i kita disekitar yang hidupnya belum pernah menikmati nasi bungkus.

3. Fadli Zon meremehkan dua profesi, pasukan dan penjual nasi bungkus
Pasukan Nasi Bungkus ini jumlahnya banyak, butuh banyak nasi bungkus. Secara otomatis omset penjual nasi bungkus bertambah banyak. Sehingga bila pasukan ini merasa profesinya sangat rendah di mata Fadli Zon, mereka berhenti. Kasihan penjual nasi bungkus, pendapatannya ikut turun. 
Perlu Fadli Zon ingat juga, ada nilai yang tak bisa diukur dengan nasi bungkus dan pulsa, bahkan uang sekalipun yaitu kesetiaan, patuh, tak gentar, pantang menyerah, rela berkorban waktu demi kursi sang Presiden/Wakil Presiden. Ini yang harus dicatat komandan.
Seperti Tentara kita, walaupun gajinya rendah, tetapi mereka tetap setia menjaga NKRI dari segala macam ancaman luar dan dalam.


Dari ketiga analisa saya diatas terhadap puisi Fadli Zon yang berjudul Pasukan Nasi Bungkus, maka saya berkesimpulan Fadli Zon tidak memiliki mental layaknya prajurit Pasukan Khusus Nasi Bungkus. Merdeka.


Salam.





Share :

No comments:

Post a Comment