oleh: Karlina Supelli
Perkenankan
saya terlebih dulu menegaskan bahwa kehadiran saya di sini adalah
sebagai seorang undangan yang diminta untuk mengartikan istilah
“Revolusi Mental” yang dikemukakan oleh Joko Widodo (Jokowi) dan Tim.
Penegasan ini saya kemukakan karena cara kita memahami sekarang ini
diwarnai dengan kecenderungan untuk mengambil apa yang kita lihat dan
dengar hanya menurut apa yang kita suka, atau menafsirkannya sesuai
kepentingan kita. Cara pikir ini cenderung mengabaikan substansi.
Substansi inilah yang akan saya bicarakan.
Memahami Istilah
Untuk itu, pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik benda-benda dunia. Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb. Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi, melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dsb.
Kekeliruan memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb. Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan, struktur sosial dan pelaku. Kekeliruan itu terungkap dalam omongan kita sehari-hari: “Wah, itu masalah mental pelakunya!”, atau: “Tidak, itu masalah struktur!” Akibatnya, interaksi keduanya terasa putus. Pokok ini tidak perlu diurai panjang lebar di sini. Cukuplah disebut bahwa kesesatan itu melahirkan pandangan seakan-akan ‘kebudayaan’ berurusan hanya dengan ranah subyektif pelaku, sedangkan ‘struktur sosial’ berurusan dengan ranah obyektif tindakan. Dan keduanya tidak berhubungan. Itu pandangan primitif dan sesat.
Bagaimana kesesatan itu dikoreksi? Jawabnya: hubungan integral antara “mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola caraberpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits). Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisi material/ fisik/ sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara integral.
Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik habitual ekonomi serta politik. Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada pada aras analitik. Pada yang politik dan ekonomi selalu terlibat budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga punya lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga punya lapis fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang melandasinya. Namun dalam praktek sehari-hari ketiganya tidak terpisah secara tajam.
Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek luar negeri.
Implikasi dari kekeliruan memahami gejala yang disebut pada butir 5 dan 6 di atas sangat besar. Pernyataan-pernyataan publik seperti pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal sehingga diperlukan jalan kebudayaan adalah contoh kekeliruan memahami hubungan integral struktur, kebudayaan, dan pelaku. Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara moral bangsa – “kalau moral berubah, selesailah masalah!”. Sungguh keliru anggapan itu.
Operasionalisasi Revolusi Mental
Dengan paparan di atas, bagaimanakah kita mengartikan ‘Revolusi Mental’? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya.
Tetapi karena ‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa dan bertindak, ‘revolusi mental’ tidak bisa tidak mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa dan cara-bertindak kita itu. Kebudayaan hanya dapat “di-strategi-kan” jika kita sungguh memberi perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi ‘Revolusi Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti dan pengertian kebudayaan ke tataran praktek hidup sehari-hari.
Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari. Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian ini), cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai revolusi mental. Di lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski demikian, revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship). Maka, sejak dini anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini ‘menubuh’. Mengapa? Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan. Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya tertentu.
Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan kepada siswa mulai dari usia dini. Dalam menjalankan Revolusi Mental, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang tidak dapat diganti misalnya dengan pelajaran agama. Sebaliknya, pelajaran agama membantu pendidikan kewarganegaraan.
Untuk keperluan pendidikan kewarganegaraan kita dapat menyusun pertanyaan: (a) Keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh siswa agar menjadi warga negara yang baik? (b) Sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia yang dicita-citakan bersama?
Sebagai contoh, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah kejujuran; jika sasarannya adalah kebinekaan, maka yang dididik adalah pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnisitas, dll; jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab; dst.
Tampaknya memang tidak ada yang baru dari hal-hal yang disebut di atas. Dengan memusatkan perhatian pada perubahan kebiasaan sehari-hari yang punyai dampak kebaikan publik, kebaruan terletak pada cara mendidik. Proses pendidikan mesti bermuara ke corak kebiasaan bertindak. Artinya, pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif (discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge). Pengetahuan diskursif tentu sangat dibutuhkan dalam mengawal secara kritis kehidupan berbangsa-bernegara, namun biarlah sementara ini itu jadi urusan para intelektual/cendekia. Bagi agenda ‘Revolusi Mental’, yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan praktis – transformasi pada tataran kebiasaan bertindak sehari-hari para warga negara dalam lingkup dan skala seluas bangsa.
Keutamaan (virtue) adalah pengetahuan praktis. Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan, Revolusi Mental adalah membuat bagaimana kejujuran dan keutamaan lain-lainnya itu menjadi suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret. Ketika berhadapan dengan kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi melihat kejujuran sebagai hal terpisah dari dirinya. Dia tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena kejujuran sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi habit. Kejujuran mengalir dari dirinya. Ibarat seseorang yang mahir berenang, dia tidak lagi perlu memikirkan ritme gerakan tangan dan kakinya. Gerakan itu menjadi bagian dirinya ketika dia berada di air.
Contoh lain bisa kita ambil dari Skandinavia dimana kesetaraan (equality) diajarkan sejak anakanak. Itulah mengapa sistem welfare state menjadi mungkin di Negara-negara Skandinavia. Kendati dikenai pajak progresif, warga memahami arti dan keutamaannya karena kesetaraan sudah menjadi sikap dasar (dan tentu saja juga karena penyelenggara negara yang akuntabel dan tidak korup). Di Jepang, sikap stoic (Jepang: gaman) sudah diajarkan sejak usia 3 – 6 tahun sampai menjadi kebiasaan dan sikap hidup sehari-hari. Kita tentu masih ingat reaksi tenang, rasional, terkendali dan hening masyarakat Jepang yang banyak dibahas media internasional ketika terjadi tragedi nuklir 2011.
Kantung-kantung Perubahan
Pendidikan di sekolah hanyalah bagian saja dari proses pendidikan warga negara. Padahal kalau sungguh mau dilaksanakan, Revolusi Mental harus menjadi gerakan kolosal berskala nasional. Gerakan itu mencakup masyarakat seluas bangsa agar perilaku sosial setiap individu menjadikan keutamaan warga negara sebagai kebiasaan.
Untuk itu, kita tidak perlu menunggu adanya kebijakan. Silakan memulai dengan membangun kantung-kantung perubahan dan menyusun siasat yang berfokus pada transformasi cara hidup sehari-hari kelompok-kelompok warga negara. Siasat itu melibatkan gerakan rutin dalam bentuk langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak terhadap terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara.
Jadi, ‘Revolusi Mental’ bukanlah urusan membikin panggung di mana para selebriti mencari sorak dan puja-puji. Transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin. Hanya melalui kesetiaan inilah ‘Revolusi Mental’ akan terjadi. ‘Revolusi Mental’ juga tidak akan terjadi hanya dengan khotbah tentang kesadaran moral, serta tidak terjadi dengan pelbagai seminar dan pertunjukan. Semua itu cenderung jadi panggung slogan. Agar ‘Revolusi Mental’ menjadi siasat integral tranformasi kebudayaan, yang dibutuhkan adalah menaruh arti dan praksis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi menyangkut praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar bangsa. Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat secara ragawi dalam memulai dan merawat revolusi mental.
Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka inilah arti civil society yang sebenarnya: civil society adalah gerakan para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia. Itulah ‘Revolusi Mental’.
Memahami Istilah
Untuk itu, pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik benda-benda dunia. Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb. Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi, melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dsb.
Kekeliruan memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb. Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan, struktur sosial dan pelaku. Kekeliruan itu terungkap dalam omongan kita sehari-hari: “Wah, itu masalah mental pelakunya!”, atau: “Tidak, itu masalah struktur!” Akibatnya, interaksi keduanya terasa putus. Pokok ini tidak perlu diurai panjang lebar di sini. Cukuplah disebut bahwa kesesatan itu melahirkan pandangan seakan-akan ‘kebudayaan’ berurusan hanya dengan ranah subyektif pelaku, sedangkan ‘struktur sosial’ berurusan dengan ranah obyektif tindakan. Dan keduanya tidak berhubungan. Itu pandangan primitif dan sesat.
Bagaimana kesesatan itu dikoreksi? Jawabnya: hubungan integral antara “mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola caraberpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits). Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisi material/ fisik/ sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara integral.
Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik habitual ekonomi serta politik. Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada pada aras analitik. Pada yang politik dan ekonomi selalu terlibat budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga punya lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga punya lapis fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang melandasinya. Namun dalam praktek sehari-hari ketiganya tidak terpisah secara tajam.
Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek luar negeri.
Implikasi dari kekeliruan memahami gejala yang disebut pada butir 5 dan 6 di atas sangat besar. Pernyataan-pernyataan publik seperti pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal sehingga diperlukan jalan kebudayaan adalah contoh kekeliruan memahami hubungan integral struktur, kebudayaan, dan pelaku. Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara moral bangsa – “kalau moral berubah, selesailah masalah!”. Sungguh keliru anggapan itu.
Operasionalisasi Revolusi Mental
Dengan paparan di atas, bagaimanakah kita mengartikan ‘Revolusi Mental’? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya.
Tetapi karena ‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa dan bertindak, ‘revolusi mental’ tidak bisa tidak mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa dan cara-bertindak kita itu. Kebudayaan hanya dapat “di-strategi-kan” jika kita sungguh memberi perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi ‘Revolusi Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti dan pengertian kebudayaan ke tataran praktek hidup sehari-hari.
Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari. Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian ini), cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai revolusi mental. Di lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski demikian, revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship). Maka, sejak dini anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini ‘menubuh’. Mengapa? Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan. Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya tertentu.
Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan kepada siswa mulai dari usia dini. Dalam menjalankan Revolusi Mental, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang tidak dapat diganti misalnya dengan pelajaran agama. Sebaliknya, pelajaran agama membantu pendidikan kewarganegaraan.
Untuk keperluan pendidikan kewarganegaraan kita dapat menyusun pertanyaan: (a) Keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh siswa agar menjadi warga negara yang baik? (b) Sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia yang dicita-citakan bersama?
Sebagai contoh, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah kejujuran; jika sasarannya adalah kebinekaan, maka yang dididik adalah pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnisitas, dll; jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab; dst.
Tampaknya memang tidak ada yang baru dari hal-hal yang disebut di atas. Dengan memusatkan perhatian pada perubahan kebiasaan sehari-hari yang punyai dampak kebaikan publik, kebaruan terletak pada cara mendidik. Proses pendidikan mesti bermuara ke corak kebiasaan bertindak. Artinya, pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif (discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge). Pengetahuan diskursif tentu sangat dibutuhkan dalam mengawal secara kritis kehidupan berbangsa-bernegara, namun biarlah sementara ini itu jadi urusan para intelektual/cendekia. Bagi agenda ‘Revolusi Mental’, yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan praktis – transformasi pada tataran kebiasaan bertindak sehari-hari para warga negara dalam lingkup dan skala seluas bangsa.
Keutamaan (virtue) adalah pengetahuan praktis. Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan, Revolusi Mental adalah membuat bagaimana kejujuran dan keutamaan lain-lainnya itu menjadi suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret. Ketika berhadapan dengan kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi melihat kejujuran sebagai hal terpisah dari dirinya. Dia tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena kejujuran sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi habit. Kejujuran mengalir dari dirinya. Ibarat seseorang yang mahir berenang, dia tidak lagi perlu memikirkan ritme gerakan tangan dan kakinya. Gerakan itu menjadi bagian dirinya ketika dia berada di air.
Contoh lain bisa kita ambil dari Skandinavia dimana kesetaraan (equality) diajarkan sejak anakanak. Itulah mengapa sistem welfare state menjadi mungkin di Negara-negara Skandinavia. Kendati dikenai pajak progresif, warga memahami arti dan keutamaannya karena kesetaraan sudah menjadi sikap dasar (dan tentu saja juga karena penyelenggara negara yang akuntabel dan tidak korup). Di Jepang, sikap stoic (Jepang: gaman) sudah diajarkan sejak usia 3 – 6 tahun sampai menjadi kebiasaan dan sikap hidup sehari-hari. Kita tentu masih ingat reaksi tenang, rasional, terkendali dan hening masyarakat Jepang yang banyak dibahas media internasional ketika terjadi tragedi nuklir 2011.
Kantung-kantung Perubahan
Pendidikan di sekolah hanyalah bagian saja dari proses pendidikan warga negara. Padahal kalau sungguh mau dilaksanakan, Revolusi Mental harus menjadi gerakan kolosal berskala nasional. Gerakan itu mencakup masyarakat seluas bangsa agar perilaku sosial setiap individu menjadikan keutamaan warga negara sebagai kebiasaan.
Untuk itu, kita tidak perlu menunggu adanya kebijakan. Silakan memulai dengan membangun kantung-kantung perubahan dan menyusun siasat yang berfokus pada transformasi cara hidup sehari-hari kelompok-kelompok warga negara. Siasat itu melibatkan gerakan rutin dalam bentuk langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak terhadap terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara.
Jadi, ‘Revolusi Mental’ bukanlah urusan membikin panggung di mana para selebriti mencari sorak dan puja-puji. Transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin. Hanya melalui kesetiaan inilah ‘Revolusi Mental’ akan terjadi. ‘Revolusi Mental’ juga tidak akan terjadi hanya dengan khotbah tentang kesadaran moral, serta tidak terjadi dengan pelbagai seminar dan pertunjukan. Semua itu cenderung jadi panggung slogan. Agar ‘Revolusi Mental’ menjadi siasat integral tranformasi kebudayaan, yang dibutuhkan adalah menaruh arti dan praksis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi menyangkut praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar bangsa. Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat secara ragawi dalam memulai dan merawat revolusi mental.
Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka inilah arti civil society yang sebenarnya: civil society adalah gerakan para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia. Itulah ‘Revolusi Mental’.
No comments:
Post a Comment