Awal
tahun 2014 kita disibukkan dengan masalah air. Air hujan yang berlimpah
tak mampu lagi diserap bumi mengakibatkan banjir dimana-mana di
Indonesia. Banjir pun menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Indonesia
pun darurat.
Namun
selain bencana air alam tersebut, kita juga sedang mengalami atau
menikmati banjir ludah yang muncrat dari mulut para penjaja visi misi untuk
mendulang suara nanti pada Pemilu 2014. Dimana-mana kita sering bertemu
dengan para penjual ludah ini, baik dijalan, warung kopi, pasar, bahkan
dalam situasi bencana pun mereka tetap menjajakan ludah berbalut
manisnya janji-janji politik yang enak didengar namun sebenarnya baunya
busuk kalau sampai ludah tersebut menempel di pipi kita, apalagi kalau
kita sampai merasakan ludahnya.
Kita
sadar dan kita pun telah belajar dan paham dari beberapa pengalaman
pada momentum demokrasi seperti Pemilu 1999, 2004, 2009 dan Pemilukada
bahwa saat ini rakyat tidak lagi membutuhkan ludah. Sudah cukup tebal
ludah yang menempel di pipi dari berbagai jenis mulut para penjaja
ludah. Saat ini kita butuh yang namanya jejak rekam atau track record
seseorang untuk menjadi wakil rakyat/pemimpin. Kita butuh figur
seseorang yang konsisten dan komitmen antara ucapan dan tindakan. Kita
tidak butuh lagi politisi bermodalkan ludah.
Sudah
cukup ludah yang kita tumpahkan ke tanah air kita, jangan kotori lagi tanah ini dengan ludah busuk. Saatnya kita
mengukir jejak diatas tanah dengan menjual kompetensi, integritas dan
profesionalitas yang telah kita bukukan dalam lembar sejarah perjalanan
hidup kita sebelumnya, dan biarkan semua fakta itu yang berbicara bahwa
kita benar-benar layak dipilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin bangsa
ini.
Bagi
rakyat Indonesia, jangan lagi dibodohi para penjual ludah, bijaklah
dalam memilih agar 5 tahun kedepan kita tidak lagi bersungut-sungut karena kita telah
memilih ludah yang busuk.
Salam Demokrasi.
No comments:
Post a Comment