Kelompok Perusuh Itu Dipandu Frekuensi Khusus
Kerusuhan di Jakarta pada 13 Mei 1998 itu benar-benar mencekam.
Pengendalian huru-hara itu pun terkesan tidak terpadu sehingga membuka
pintu bagi aksi-aksi lain di wilayah ibu kota. Jakarta merana, merah
padam disulut api oleh orang-orang kalap. Di tengah kegerahan inilah,
beberapa WNI Tionghoa meronta karena diperlakukan tidak manusiawi.
PUKUL 18.30 WIB: Susi, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di kawasan
Jakarta Pusat, berniat pulang. Seperti biasa, Susi menumpang sebuah bus
dengan rute yang melintasi Citraland dan Universitas Trisakti. Ketika
bus sampai di Mal Citraland, puluhan massa mengepung dan memaksa sopir
menghentikan busnya. Massa meneriaki seluruh penumpang agar turun. Bila
tidak mau, mereka pun siap membakar bus itu.
Akhirnya, sekitar 50 penumpang bus tersebut turun juga. Tetapi, massa
yang kalap itu masih juga membakar bus tersebut. Tidak ada cara lain
bagi Susi kecuali pulang dengan berjalan kaki. Dicekam ketakutan,
langkah mahasiswi keturunan Cina ini kian cepat. Seolah dia dikejar
seseorang. Menyusuri kegelapan malam, tidak ada lentera kecuali nyala
dan jilat api mobil serta sepeda motor yang dibakar di jalan.
Kerumunan massa semakin brutal. Jumlah mereka sudah mencapai ratusan.
Seolah berpesta, mereka membabi buta melakukan perusakan. Sedangkan
ratusan lainnya menatap di pinggir jalan. Seorang lelaki tak bersenjata
berusaha merampok Susi. Namun, mahasiswi ini berusaha bertahan untuk
tidak menyerahkan dompetnya.
Susi berlari kencang. Lelaki yang bermaksud jahat itu pun mengejarnya.
Ketika lelaki itu mendekat, Susi berusaha mencari perlindungan dengan
merangkul seorang lelaki yang dekat dengannya. Lelaki itu bernama Wahyu.
Wahyu mengaku tak mampu memberikan perlindungan kepada Susi. Dengan
demikian, lelaki jahat itu pun dengan gampang meminta uang Susi.
Susi bersumpah hanya punya uang Rp 10 ribu. Menurut Susi, uang sejumlah
itu pun diambil oleh lelaki tadi. Malahan, dia masih mengumpat Susi
dengan kata-kata, ’’Gadis Cina edan.’’
Wahyu memikirkan cara bagaimana menyelamatkan Susi. Akhirnya, dia
memberikan topinya kepada Susi. Mahasiswi ini kemudian menutupi raut
wajahnya dengan topi itu sesuai dengan saran Wahyu.
Karena sama-sama satu arah, Wahyu dan Susi berjalan bersama. Di
perjalanan, Susi mengatakan melihat sebuah mobil dibakar bersama
penumpangnya. Dia juga mendengar pekikan ’’Enyahkan Cina.’’ Di seberang
jalan, dia malah menatap gadis-gadis yang sudah ditelanjangi. Orang
berusaha melihat, tetapi Susi berusaha tak acuh.
Sekitar pukul 21.00 WIB, Susi dan Wahyu berhasil meninggalkan jalan yang
mencekam tadi. Mereka kemudian berhenti di sebuah kedai teh. Anak
lelaki pemilik kedai datang. Dia baru saja melihat kerusuhan di jalan.
Anak pemilik kedai ini mengatakan bahwa mereka (massa) sudah melakukan
perbuatan yang mengerikan bagi warga keturunan Cina.
Suami-istri pemilik kedai teh itu menawarkan inapan. Susi pun tak bisa
menampik. Pagi-pagi sekali, mereka menghubungi seorang temannya untuk
mengantarkan Susi pulang. Sebelum pulang, suami-istri itu menyodorkan
jilbab agar Susi mau memakainya. Tetapi, Susi lebih suka memakai topi
pemberian Wahyu. Ketika jarum jam siap menyentuh 09.30 WIB (14 Mei),
Susi tiba dengan selamat di rumah.
Tetapi, dia tidak lagi bisa menyaksikan pemandangan yang serupa dengan
pemandangan saat dia berangkat ke kampus sehari sebelumnya. Soalnya,
toko-toko yang ada di sekitarnya sudah jadi arang. Toko-toko yang
ditempeli tulisan ’’Milik Muslim’’ di pintu maupun pintu gerbang umumnya
selamat. Namun, ibu Susi –yang membuka toko kosmetik– tidak mau
memasang tulisan itu. Sepekan setelah peristiwa itu, warga di lingkungan
Susi tinggal mengorganisasikan pengamanan bersama setiap malam.
Masing-masing orang melengkapi diri dengan alat pengaman, dari stik golf
sampai pedang samurai.
Hampir bersamaan dengan waktu Susi meninggalkan kampus tadi, seorang
pengusaha keturunan Cina tiba di rumahnya di Jembatan Lima, kawasan yang
didominasi etnis Cina. Istri pengusaha itulah yang meminta sang suami
secepatnya pulang. Sang istri itu merasa ngeri melihat kerumunan orang
yang tidak dia kenal dan berteriak di jalanan sambil membawa batu.
Ipar lelaki pengusaha itu mengaku melihat sekitar lima orang
berpenampilan serem melempar jendela-jendela bangunan dengan batu untuk
menarik perhatian. Ketika gelombang massa mulai berdatangan dari kampung
sekitarnya, kelima orang berpenampilan garang itu mempengaruhi massa
agar masuk sebuah gudang air mineral. Massa diserukan agar mengambil apa
saja yang mereka suka, lalu bakar benda-benda yang tidak bisa dibawa.
Lalu, kelima orang tadi berteriak, ’’Mari kita serbu tempat lain!’’ Dan,
massa yang kesetanan itu pun pergi. Malam itu juga bank di wilayah itu
dirusak, mobil-mobil dibakar, dan sebuah toko emas habis dikuras. Sebuah
pasar makanan juga dihancurkan. Warga menelepon pos polisi dan militer
untuk meminta bantuan. Tapi, tak seorang pun menjawab panggilan telepon
itu.
Menjelang tengah malam, ujar seorang relawan kemanusiaan bernama Karyo,
seorang godfather memberikan perintah kepada sekumpulan anggota geng
anak muda dan pecandu narkotika agar bertemu pagi harinya untuk
merayakan ’’pesta jalanan.’’ Karyo mengakui tahu soal perintah itu
karena salah seorang dari anggota geng tadi memberi tahu dia.
Kepada Karyo, pemuda itu mengatakan bahwa perintah godfather tidak
mungkin ditolak. Pemuda itu diminta mengenakan seragam sekolah, lalu
datang ke kawasan Klender untuk memancing perkelahian. Namun, tutur
Karyo, pemuda itu pisah dengan kelompoknya sebelum sampai di tujuan.
14 MEI: Sekitar pukul 02.00 dini hari, kata seorang perwira militer,
(kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Syamsoeddin mengeluarkan
instruksi bagi kelompok-kelompok yang ada di jalanan. Sepanjang hari
itu, orang-orang di markas Sjafrie mendengar perintah ke mana
orang-orang di jalanan itu harus pergi. Akhirnya, frekuensi radio itu
berhasil di-jam (dicegat). Padahal, hanya satuan elite Komando Pasukan
Khusus (Kopassus) dan intelijen AD- lah yang bisa melakukannya.
Menurut sumber lain yang juga militer, setelah fajar, gangsters dari
Lampung, Sumatera Selatan, dipandu memasuki wilayah ibu kota oleh
pasukan Kopassus –satuan yang dipimpin Prabowo mulai 1995 sampai
Februari lalu. Seorang pegawai sipil di markas militer mengatakan,
sepekan sebelum kerusuhan meletus, ratusan pemuda Timtim dibawa dan
dilatih oleh Kopassus. Mereka dibawa dengan pesawat carteran dari Dili
ke Yogyakarta. Dari Yogyakarta, ratusan pemuda Timtim itu dibawa ke
Jakarta dengan kereta api.
Saat dimintai konfirmasi oleh Asiaweek, maskapai yang mengangkut pemuda
Timor Timur itu menolak buka suara. Menurut mereka, adalah kebijakan
untuk tidak membicarakan penerbangan tersebut.
Pagi-pagi sekali, Karyo menerima telepon dari seorang tak dikenal.
Menurut si penelepon, hari itu Jatinegara Plaza di kawasan Jakarta Timur
akan dibakar. Saksi mata mengatakan, setelah telepon itu, delapan
lelaki tiba di Jatinegara. Seorang di antara mereka berusaha menarik
perhatian massa dari kampung sekitar dengan membakar ban mobil. Ketika
massa sudah berkumpul, empat dari delapan lelaki tadi mengajak mereka
menuju plaza yang sedang melakukan aktivitas bisnis. Mereka merusak,
tapi aparat keamanan hanya bisa menatap.
Beberapa jam kemudian, seseorang menembakkan gas air mata di lantai
dasar Jatinegara Plaza. Dua saksi mata melihat, saat itu seorang lelaki
menyiramkan bensin di pintu masuk, lalu membakarnya. Di lantai tiga,
seorang lelaki lain terlihat membakar gulungan kain. Dia lalu
meninggalkan tempat itu dengan turun melewati pipa udara. Sebanyak 70
orang, termasuk beberapa pekerja di plaza itu, tewas terbakar. Namun,
satuan pemadam kebakaran dan polisi tidak bereaksi.
Bergerak jauh ke arah timur Klender, Yogya Plaza juga diserbu. Saksi
mata mengatakan, sekelompok lelaki memimpin massa yang ada di jalanan
dan mempersilakan mereka mengambil apa pun yang mereka suka. Sekelompok
lelaki penyulut tadi berpotongan rambut cepak, badan tegap, dibungkus
jaket hitam. Lelaki-lelaki ini mengaku sebagai mahasiswa.
Setelah beberapa jam menyerbu, merusak, dan menjarah Yogya Plaza,
seorang di antara lelaki tadi berteriak kepada para penjarah agar
secepatnya keluar dari plaza itu. Lalu, lelaki ini dan tiga rekannya
mencelupkan sepotong kain lebar ke dalam bensin, kemudian menyulutnya
dengan korek api. Kain yang terbakar itu dilemparkan ke plaza.
Lelaki-lelaki berjaket hitam itu pun pergi. Tapi, sekitar 100 orang mati
terpanggang.
Di Jakarta Barat, massa berkumpul di Meruya. Mereka sudah mendengar
rumor bahwa pasar di wilayah tetangga akan dijadikan abu. Beberapa saat
kemudian, kata saksi mata, dua minibus tiba di Meruya. Dua minibus itu
mengangkut para lelaki berseragam sekolah. Ada kejanggalan.
Lelaki-lelaki berseragam itu sebenarnya sudah tidak tampak sebagai
pemuda belasan tahun. Lelaki-lelaki berseragam ini memakai bom molotov
untuk menyulut api. Api menjalar. Lelaki-lelaki berseragam itu pun cepat
lenyap.
Masih pagi hari pada 14 Mei, sekelompok lelaki yang tampak terlalu tua
dan terlalu besar untuk mengenakan seragam SMU, mulai memancing
keributan dengan berkelahi di jalan raya utama Sunter. Mereka kemudian
juga mulai membakar ban-ban. Setidaknya, tiga pengendara sepeda motor
terlihat berputar-putar di sekelilingnya. Seolah tampak kebingungan.
Saat itu, Suyitno –penghubung militer-warga– menunjukkan satu arah
kepada pengendara sepeda motor tadi. Namun, para pengendara itu malah
memacu sepeda motornya menjauh. Sejak kerusuhan meletup, sudah dua hari
Suyitno melakukan kontak dengan pos komando militer setempat.
Saat kontak itu, kata Suyitno, seseorang di markas memberi tahu dia,
’’Bila kamu dilempari batu oleh para perusuh, balaslah dengan senyum.
Saya perintahkan kamu hanya tersenyum, cukup itu saja.’’
Para perwira di wilayah Sunter mengaku juga menerima perintah yang sama
dengan Suyitno. Beberapa mengaku sama sekali tidak menerima perintah.
Ketika beberapa perwira berinisiatif melapor kepada atasan tentang aksi
yang kian meluas, mereka hanya dibalas dengan perintah agar tetap siaga.
Menjawab fenomena aneh ini, seorang perwira berkata kepada Suyitno,
’’Saya rasa sama-sama ada ketidakjelasan perintah di Jatinegara dan
Klender.’’
Sementara itu, kata seorang sumber yang dekat dengan (saat itu) Kapolda
Mayjen Hamami Nata, beberapa satuan polisi diminta berkumpul di markas,
tapi diperintahkan tetap di tempat. Menurut sumber itu, hampir semua
polisi di sana tidak ada yang berani meninggalkan tempat karena mereka
tidak yakin benar perintah siapa yang akan diikuti. Satuan pemadam
kebakaran juga diperintahkan agar tidak bekerja.
Glodok Plaza, kawasan komersial yang berdiri megah di tengah Jakarta
itu, akhirnya juga tidak luput dari serangan api dan serbuan batu.
Muladi, seorang satpam, menyaksikan sendiri bagaimana aksi perusakan dan
penjarahan itu terjadi. Saat itu sekitar pukul 16.00 WIB, Muladi
melihat lebih dari 2.000 orang dengan tas-tas penuh batu dan alat
pencongkel pintu secara paksa bergerak menuju Glodok.
Beberapa orang lain membawa bom molotov. Polisi memberikan tembakan ke
udara sebagai peringatan, tapi massa tidak menggubris. Polisi kemudian
tampak pasrah dan minggir. Glodok Plaza diserbu, dijarah, dan
dilumatkan. Orang-orang tampak bersemangat mengusung komputer, kulkas,
televisi, dan barang lain dari pusat perbelanjaan elektronik itu. Pesta
itu terus berlangsung sebelum api mulai tampak melahap sekitar pukul
19.00 WIB. Tidak tampak seorang pun berusaha memadamkan kobaran api.
’’Lebih mengerikan dibandingkan dengan perang karena kami tak bisa meminta bala bantuan,’’ kenang Muladi.
Sebelum Glodok Plaza dirajam api, petangnya, si jago merah juga melahap
rumah seorang pengusaha keturunan Cina yang ada di wilayah tetangganya.
Massa meruak masuk, mengambil barang-barang dari rumah itu. Saat itu,
sejumlah personel militer hanya bisa menatap. Sedangkan si pengusaha
yang cemas terpaksa tertahan di jalanan. Dia menggigil ketakutan ketika
massa berteriak untuk menghancurkan rumahnya.
Akhirnya, dia pun terpaksa menyusuri tapak jalan dengan berjalan kaki.
Baru menjelang tengah malam, dia sampai di kediamannya yang sudah
menjadi arang. Dia hanya bisa menatap sisa-sisa miliknya disantap api.
Baru pada pagi hari, konglomerat ini bisa memasuki areal rumahnya dengan
ditemani dua orang perwira polisi militer. Lantai satu dan dua rumah
itu sudah rata dengan tanah.
Dengan perasaan pedih, dia naik ke tangga tiga yang selama itu dijadikan
apartemen keluarga. Ternyata, di sana tidak kalah mengenaskan. Perabot
mahal yang ada di ruang tamu amblas. Di kamar tidur, di atas ranjang,
lelaki pengusaha itu mendapati istrinya sudah tewas terpanggang. Di
kolong ranjang, anak gadisnya yang berusia 17 tahun juga sudah menjadi
mayat. Sementara itu, kakak wanita gadis itu yang berusia 18 tahun pun
sudah tidak bernyawa. Jasadnya ada di lemari pakaian dengan tangan
menggengam telepon selular dan Injil.
Menurut Rosita Noer, dokter yang juga aktivis hak asasi manusia,
sepanjang hari pada 14 Mei itu, setidaknya, sudah 468 wanita diserang
sekelompok lelaki di 15 tempat. Di 10 wilayah, sekelompok wanita juga
dikerjai. Umumnya, korban diserang ketika berada di toko, rumah, dan di
dalam mobil mereka.
Yang memilukan, justru pelaku kerap memperlakukan korban secara tidak
manusiawi. Mereka menelanjangi, lalu melihat tubuh wanita-wanita
korbannya. Beberapa lagi malah memperkosanya. Para pelaku itu memang
asing di mata korban, yang umumnya keturunan Cina. Korban lain
diperkirakan akibat salah sasaran karena mirip Cina atau bekerja pada
keluarga keturunan Cina. Sedikitnya, 20 wanita tewas atau dibunuh
setelah diperkosa itu, beberapa lagi nekat bunuh diri.
Menurut penuturan Ita Nadia, Kepala Pusat Studi Wanita Kalyanamitra,
telah terjadi 10 lelaki memaksa beberapa wanita masuk ke sebuah rumah.
Di sana, mereka mengobrak-abrik isi rumah itu, lalu menelentangkan
korbannya. Mereka memperkosa ibu dan anak perempuan di depan ayah dan
anak lelakinya. Seorang nenek mengaku melihat kemaluan cucu wanitanya
ditusuk dengan botol.
Di tempat lain, seorang ibu mencoba bunuh diri karena tidak tahan
melihat anak gadisnya yang berusia belasan tahun diperkosa di
hadapannya. Seorang ayah malah memberi anaknya Baygon untuk memudahkan
jalan anak gadisnya itu bunuh diri setelah dia diperkosa. Juga, seorang
ibu yang mengidap serangan jantung langsung tewas begitu mendengar anak
gadisnya telah diperkosa.
Di sebuah apartemen berlantai 15 di kawasan Pluit, Jakarta Utara,
beberapa kelompok lelaki bergerak secara sistematis menyerang
wanita-wanita Cina yang ada di setiap lantai. Aksi ini dimulai pukul
09.00 WIB sampai petang hari. Para lelaki itu bisa bergerak leluasa
karena mereka benar-benar sudah menguasai apartemen itu. Diperkirakan,
mereka sudah memperkosa lebih dari 40 gadis dan wanita.
Prabowo Tegang, tapi Bisa Kendalikan Diri
Tiga gadis bersaudara sedang menunggu toko milik keluarga ketika tujuh
lelaki berkulit legam dan tegap yang tidak mereka kenal menyerang
sekitar pukul 16.00 WIB. Gadis-gadis itu kemudian berhamburan menuju
apartemen mereka di lantai tiga. Lelaki-lelaki tersebut memburu dan
berhasil menangkap mereka. Dua gadis termuda diperkosa, sedangkan si
sulung hanya diberi tahu bahwa dia terlalu tua untuk dimangsa.
Lalu, mereka menyulut lantai dasar apartemen itu dengan api. Dua gadis
yang mahkotanya sudah direnggut paksa tadi didorong ke dalam kobaran api
dan tewas. Namun, si sulung dapat diselamatkan oleh para tetangga.
Tidak berhenti di sini, kekerasan dan pemerkosaan terus menjalar ke
segenap wilayah itu. Menjelang pukul 19.00 WIB, sejumlah wanita telah
diperkosa dan kawasan itu dibumihanguskan.
Di tiga kawasan pecinan di Jakarta Barat, antara pukul 17.00 hingga
20.00 WIB, sejumlah lelaki menyeret ratusan gadis ke jalanan,
menelanjangi, dan memaksa mereka menari bersama massa. Menurut Dokter
Noer, 20 orang diperkosa dan beberapa lagi dibakar hidup-hidup. Dokter
wanita itu juga mengakui dirinya tengah mempelajari kasus perkosaan enam
gadis berusia 14–20 tahun di beberapa wilayah Jakarta. Empat di antara
enam gadis itu mengaku telah digilir tujuh lelaki yang tidak mereka
kenal. Malah, (maaf) wilayah kelamin gadis-gadis itu –mulai vagina
sampai anus– dirobek hingga menganga.
‘’Secara fisik memang bisa disembuhkan. Tetapi, peristiwa ini akan menghantui mereka selamanya,’’ tutur Noer.
Jakarta masih mencekam. Pukul 19.30 WIB, Jenderal Wiranto muncul di
layar televisi dan mengatakan bahwa aparat keamanan sudah berhasil
mengendalikan situasi. Tetapi, tidak adanya aparat keamanan di
jalan-jalan mendorong beberapa kedutaan asing menyerukan perintah
evakuasi. Dan, ribuan warga asing –termasuk etnis Cina– mulai
meninggalkan Jakarta yang membara dan berhias kebrutalan.
Ketika aksi perkosaan dan penjarahan masih berlangsung, Prabowo sedang
berada di markas Kostrad. Di sana, menantu Soeharto itu sedang menerima
utusan kelompok pemuda dan organisasi muslim. Menurut seseorang yang ada
di tempat itu, Prabowo meminta mereka membantu menenangkan situasi
dengan memberikan dukungan kepada Sjafrie.
Prabowo memang tegang, kata orang dekatnya, namun tampak masih bisa
mengendalikan diri. Mereka memesan makanan dan santap malam bersama.
Karena situasi masih kacau, pesanan makanan itu pun harus diambil dengan
kendaraan bersenjata.
Sekitar pukul 01.00 WIB (15 Mei), Prabowo mengunjungi Ketua Umum PB NU
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di kediamannya. Lalu, Prabowo kembali
ke markas Kostrad, yang ternyata kemudian hanya memberinya kesempatan
bertahan di sana cuma hingga sepekan berikutnya.
15–19 MEI: Selama empat hari berikutnya, aksi kekerasan dan berbagai
drama pilu itu masih menghantui jalanan. Pukul 04.40 WIB pada 15 Mei,
Soeharto tiba dari Kairo, Mesir, dan mendarat di landasan militer Halim
di kawasan Jakarta Timur. Konvoi yang terdiri atas 100 kendaraan
bersenjata mengawal Soeharto menuju kediamannya di Cendana. Setelah itu,
tank-tank Scorpion pertama dan beberapa batalion pasukan bergerak
memasuki pusat kota.
Jalanan masih dihiasi pecahan kaca, mobil-mobil yang sudah jadi
rongsokan arang, televisi yang porak-poranda, dan puing-puing barang
yang sebelumnya begitu berharga. Bank, pusat perkantoran, gedung
pemerintahan, dan sekolah-sekolah tutup. Hanya bandara internasional
yang tetap melaksanakan aktivitas.
Di tengah kebisuan Jakarta itu, satuan pemadam kebakaran mulai beraksi
memadamkan toko-toko dan bangunan-bangunan yang masih mengeluarkan asap.
Seketika itu pula, mayat-mayat sudah bisa dihitung. Tapi, masih banyak
yang belum terbilang. Para ayah sibuk mencari anaknya. Ibu-ibu
berbondong ke rumah sakit untuk mengenali jasad-jasad, yang mungkin di
antara mereka ada jasad suaminya. Sungguh sayang. Mayat-mayat itu tidak
bisa lagi dikenali karena rusak terbakar. Akhirnya, korban-korban aksi
kekerasan Mei ini dikubur masal.
Paramedis dari tim relawan untuk kemanusiaan berhasil menolong seorang
lelaki yang terluka parah di luar markas militer, di kawasan Jakarta
Timur. Lelaki itu kemudian dibawa paramedis tersebut ke posnya. Luka di
kepala lelaki itu diobati. Di sana, kata Romo Sandyawan, –salah seorang
pendiri tim relawan tersebut– lelaki itu mengakui bahwa dia telah
direkrut dan dilatih bagaimana memancing kerusuhan.
Menurut lelaki itu, mula-mula dia menerima uang muka 2 dolar AS
(perhitungan kurs rupiah saat itu sekitar Rp 35 ribu) dan diangkut ke
Jatinegara oleh beberapa lelaki yang sulit dikenali. Lelaki ini juga
berkata, dia direkrut dalam rombongan beranggota delapan orang dari Jawa
Barat. Setelah dilatih, dia diberi batu dan bom molotov dari bensin.
Menurut dia, dalam rombongan beranggota delapan orang tadi, mungkin
dialah satu-satunya yang bertahan hidup akibat kerusuhan.
Romo Sandyawan menuturkan, pemuda dari Jawa Barat itu diasramakan dan
dibrifing selama dua pekan di markas militer di pinggiran selatan
Jakarta. Romo Sandyawan mengaku percaya pada penuturan pemuda itu,
tetapi belum bisa menjamin penuh akurasinya karena pemuda tadi mengalami
cedera syaraf.
Eksodus warga asing terus berlangsung. Ribuan WNI keturunan Cina dan
warga asing lain bertolak lewat jalur udara. Jalur air juga tak haram,
yang penting cepat keluar dari Jakarta. Pukul 05.00 WIB pada 17 Mei,
seorang wanita asing dan bayi perempuannya dikawal menuju bandara dengan
perlindungan diplomatik.
Di setiap ujung jalan, sopir selalu memberikan sinyal yang sudah
disepakati. Dan, serdadu yang bersembunyi di balik barikadenya
membiarkan mobil itu lewat. Beberapa orang yakin bahwa pasukan-pasukan
itu pasti sudah diberi tahu agar tidak berdiri dan tampak dalam keadaan
siaga penuh. Sebab, para komandannya tentu cemas akan terjadi serangan
yang mungkin dari pasukan lain.
Pukul 10.00 WIB, pada 17 Mei, Prabowo mengunjungi rumah Hery Hartanto,
mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada aksi demo 12 Mei. Ketika
orang tua Hery menatapnya, Prabowo mengangkat Alquran ke atas kepalanya
dan bersumpah bahwa dirinya tidak memerintahkan pembunuhan di Trisakti
itu. Ayah almarhum Hery, Sjahrir Muljo Utomo –yang juga seorang
purnawirawan AD– mengaku tak tahu pasti: percaya atau tidak mempercayai
sumpah Prabowo itu.
Ketika warga Jakarta mulai bersih-bersih, sekutu-sekutu Soeharto mulai
kelimpungan mencari jalan menyelamatkan muka. Mereka pun berusaha
meyakinkan Soeharto agar mundur. Para ketua parlemen (DPR) mulai berani
bicara soal penyimpangan penguasa, tetapi meminta Soeharto mundur dengan
jalan mereka adalah tidak konstitusional. Hal yang bisa mengancam
munculnya konfrontasi antara militer dan parlemen.
Ketika tanda-tanda "pertentangan" itu dicemaskan terjadi, ketegangan
muncul juga antara militer dan mahasiswa yang sudah merencanakan
menggelar aksi masal sejuta orang pada 20 Mei. Wiranto memantapkan diri
mendukung Soeharto. Namun, Wiranto juga meminta Soeharto membentuk
kabinet baru dan melaksanakan reformasi.
Sementara itu, mahasiswa yang sudah makin berani setelah melihat
Soeharto kian tak berdaya memutuskan siap menggelar aksi ke tempat yang
telah memberikan amanah kepada Soeharto itu, apalagi kalau bukan gedung
DPR/MPR. Mahasiswa demonstran gelombang pertama tiba diangkut kendaraan
militer pada 19 Mei pagi hari. Mereka memakai jaket almamater dan
menunjukkan identitas ketika melintasi pintu gerbang gedung wakil rakyat
itu.
Pukul 11.00 WIB, tidak seperti biasanya, Soeharto muncul di layar
televisi nasional. Membaca naskah, sosok yang sudah 32 tahun memerintah
Indonesia itu bersumpah siap meninggalkan kantor sesegera mungkin. Dia
juga menjanjikan pemilihan umum baru dengan undang-undang yang baru pula
untuk mengisi keanggotaan parlemen. Saat itu pula, Soeharto berjanji
bahwa antara dia dan Habibie (saat itu Wapres) tidak akan mencalonkan
diri untuk periode jabatan berikutnya.
Feisal Ingatkan Habibie, Prabowo Berbahaya
Untuk mewujudkan semua rencana itu, Soeharto akan membentuk sebuah dewan
yang merumuskan arah reformasi politik. Tetapi, mahasiswa yang sudah
menduduki parlemen bersumpah tidak akan pergi, kecuali bila Soeharto mau
mundur. Malam itu, sekitar 3.000 mahasiswa tetap bertahan di area
DPR/MPR. Mereka tidur di tenda-tenda atau di atas tikar plastik. Para
penyokong aksi mahasiswa ini, yang umumnya kalangan menengah, memberikan
dukungan berupa makanan dan air kemasan.
Malam itu, menurut orang-orang dekatnya, Habibie menelepon Soeharto.
Habibie mengungkapkan kecemasannya bahwa karier politik Pak Harto akan
berakhir prematur pada esok hari yang sudah menjelang. Tetapi, Soeharto
berjanji akan melaksanakan pemilu daripada menyerahkan jabatannya kepada
wakil presiden seperti Habibie.
Habibie, kata koleganya, sangat terluka. Dia yakin Soeharto tidak akan
lama bertahan. Itulah satu-satunya pilihan saat itu. Sebab, cara-cara
lain tampaknya sudah tidak rasional.
20–21 MEI: Beberapa jam menjelang fajar, Jakarta tampak sebagai kota di
bawah pendudukan. Ratusan tentara bersenjata senapan laras dan tank-tank
ringan serta personel artileri melakukan patroli di ibu kota.
Jalan-jalan menuju Monumen Nasional (Monas), tempat yang sudah diplot
sebagai venue aksi sejuta massa pada 20 Mei, sudah diblokade dengan
kawat berduri dan artileri berat. Tidak ada jalan lain, aksi masal itu
pun dibatalkan.
Sore itu, Wiranto menyarankan kepada Soeharto bahwa satu-satunya cara
konstitusional transfer kekuasaan adalah menyerahkan jabatan presiden
itu kepada Wapres Habibie. Wiranto kemudian mengajukan tiga tuntutan
kepada Habibie. Yakni, dia tetap sebagai panglima ABRI, lalu Habibie
harus komitmen terhadap reformasi, serta jabatan Prabowo harus diganti.
Tapi, kata sahabat dekatnya, Habibie sudah sekian lama mengenal Prabowo.
Mereka berdua tinggal cukup lama di luar negeri. Mereka saling berbagi
kepentingan dalam memajukan kepentingan muslim. Pendeknya, satu sama
lain saling membutuhkan. Prabowo-lah yang banyak membantu Habibie
bersahabat dengan para perwira senior.
Katakanlah, lanjut sumber tadi, dalam pekan genting itu Prabowo dan
Habibie bekerja sama membujuk Soeharto agar mundur. Sebagai imbalan,
Habibie siap memberi Prabowo jabatan kepala staf Angkatan Darat (KSAD).
Pukul 09.00 WIB pada 21 Mei, lewat siaran televisi nasional, Soeharto
mengumumkan lengser keprabon. Setelah tiga dasawarsa lebih memerintah
Indonesia, dia meminta maaf kepada rakyat atas segala kesalahan dan
kekurangan. Dan, Habibie tampak ragu-ragu sebelum diambil sumpahnya
sebagai presiden ketiga sejak Indonesia merdeka.
Hampir tengah malam setelah pengunduran Soeharto, Prabowo muncul di
Istana Kepresidenan dengan pasukan siap tempur. Berbekal pistol otomatis
dan beberapa truk pasukan Kostrad yang sudah menanggalkan tanda
resimennya, Prabowo menagih jabatan KSAD yang sudah dijanjikan Habibie.
Saat itulah pengawal Habibie memanggil Wiranto dan Feisal Tanjung,
mantan Pangab, ke istana. Feisal mengingatkan Habibie bahwa Prabowo
adalah sosok yang terlalu bahaya bila harus memimpin AD. Kepada orang,
Habibie kemudian hanya bisa berkata bahwa malam itu dia memang takut
akan keselamatan nyawanya.
http://www.youtube.com/watch?v=Mhru48BS82k&feature=player_embedded