Memang begitu mudah bagi kita untuk memberi komentar terhadap sesuatu yang terjadi disekitar kita, walaupun kita bukan berada dipihak yang sedang terlibat permasalahan tapi hanya membaca, melihat, mendengar atau menonton setiap rangkaian peristiwa yang terjadi.
Pada kasus yang dialami Bangsa Indonesia akhir-akhir ini, kita pun walau dengan latar yang minim soal politik dan hukum tanpa diminta ikut memberi pandangan atau komentar. Bahkan ikut mencari tumbal atas kedangkalan nalar analisa kita. Kita pun ikut meramaikan situasi sulit yang sedang dialami kedua lembaga penegak hukum di Indonesia, baik didunia maya maupun didunia nyata.
Media pun menjadi konsumsi wajib kita tanpa melakukan filter yang baik pada setiap informasi yang kita baca, dengar atau tonton. Setidaknya kita pun ikut andil pada kekisruhan yang sedang dialami dua institusi tersebut. Berbagai tagar dan gambar meme kita buat dan disebarkan agar meramaikan kisruh tersebut.
Kebebasan berpendapat kita dijamin negara melalui aturan hukum yang ada, namun bila pendapat yang kita sampaikan bukan dari analisa ilmiah apalagi dengan kemampuan keilmuan yang terbatas, maka pendapat kita bukan ikut meredakan kisruh tapi malah menambah kisruh.
Pada kisruh POLRI - KPK yang diawali dengan kasus hukum yang sedang dialami personilnya masing-masing. Begitu mudah kita kemudian berkesimpulan bahwa ini semua karena kesalahan Presiden Joko Widodo yang mengusulkan seorang calon pejabat negara yang diduga memiliki rekening gendut dan kemudian setelah diusulkan KPK menetapkan tersangka. Padahal, diawal pengusulan Komjen BG belum berstatus tersangka. Kita lupakan bahwa wakil rakyat yang telah kita pilih untuk mewakili sikap kita tetap melakukan fit and proper test pada seorang tersangka dan merestui tersangka untuk menjadi Kapolri. Kita tetap menyalahkan Jokowi yang tidak segera bertindak untuk menyelesaikannya dengan menunda-nunda pelantikan atau pembatalan Komjen BG yang telah menjadi tersangka.
Demikian juga pada hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba. Kita pun menyalahkan Jokowi yang tidak menggunakan haknya selaku Presiden untuk memberi ampunan/grasi kepada para terpidana. Padahal bila Jokowi memberi grasi maka para terpidana tersebut akan bebas, sekali lagi kita mengabaikan dampak perbuatan yang telah dilakukan para terpidana tersebut dengan alasan kemanusiaan dan hak hidup hanya bisa dicabut oleh yang Maha Kuasa.Sanksi hukuman mati pun bukan dijatuhkan oleh Jokowi selaku Presiden tetapi oleh hakim yang mengadili perkara kasus tersebut dan Presiden tidak bisa mengintervensi hakim dalam menjatuhkan vonis hukuman mati pada terdakwa. Tetapi kita tetap bersikukuh bahwa Presiden Jokowi ikut bertanggungjawab.
Lebih aneh lagi, ketika hakim Sarpin yang mengadili kasus gugatan praperadilan oleh Komjen BG terhadap penetapan tersangka oleh KPK dan beliau mengabulkan gugatan pihak Komjen BG, kita pun ramai-rami menyalahkan Jokowi. Padahal hakim Sarpin ketika akan memutuskan gugatan tersebut tanpa meminta pertimbangan Presiden.
Lebih gila lagi, kita mengatakan menyesal memilih Jokowi, padahal belum tentu juga Presiden selain Jokowi itu akan bertindak diluar aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Olehnya itu, kita bependapat secara bijak dan biarkan Presiden melakukan tanggungjawabnya menyelesaikan permasalahan bangsa ini sesuai kewenangannya dan aturan yang berlaku.
Presiden harus tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyatnya, rakyat juga harus tunduk pada konstitusi dan kebijakan yang dilakukan Presiden dan membantu Presiden mencari kebenaran dan keadilan.